Rpl G. 3. Repot lo!

331 32 0
                                    


Jika hari ini Athala tidak terlibat jadwal piket di perpustakaan, mungkin ia sudah bersantai di rumah setelah mengantarkan Tara. Embusan napas yang berulang kali membuatnya kesal, justru ditegur berkali-kali oleh Ray, cowok pendek dengan kacamata bulat yang bertengger manis di pangkal hidungnya. Dia memang tampan, hanya saja sedikit menyebalkan.

Sejak ia kembali, Athala tidak berniat sama sekali untuk melakukan apa-apa. Ia masih mengingat ucapan Tara ketika mereka berada di dalam taksi.

"Kalau tulang patah masih bisa disembunyikan, kalau kecewa udah patah. Lo mau sembuhin pakai apa, gue tanya?"

Setidaknya Athala masih bisa menahan amarah saat Tara mengatakan keinginannya untuk ikut serta dalam pertandingan babak penyisihan menuju tingkat provisi. Bahkan Athala  hampir meninggalkan kakaknya sendirian dipinggir jalan seelah mereka sampai di gang depan rumah mereka. Berhubung jarak dari depan gang cukup sempit, jadi terpaksa mereka harus turun. Dan kali ini usaha Athala hanya sia-sia.

"Thal, Kak Tara kalau di rumah kayak gimana sih?" Suara Ray sudah mengalun berkali-kali sejak mereka duduk bersama di meja pelayanan.

"Ya, kayak gitu. Ngirit, kalau pun ngomong paling minta makan, atau nanya barang-barang punya dia yang gue lupa balikin. Kenapa?" Ray menggeleng lalu melanjutkan pekerjaannya.

"Oh, ya. Ray, kira-kira bulan depan kita punya jadwal lain nggak?" tanya Athala, Ray menoleh, ia mencoba mengingat-ingat apa saja yang sudah ia lewatkan selama beberapa hari belakangan.

"Ada. Tapi bulan depan, Pak Zio sempat ngabarin kalau nanti ada seleksi untuk jadi perwakilan sekolah. Gue lupa apa nama lombanya, tapi kayaknya kalau lo ikut, bakal cocok sih Thal." Athala mengerjap, mendengar penuturan Ray, malah membuatnya bingung sendiri.

"Lo ngomong apaan Ray?"

Ray lelah, kalau otak Athala tidak berfungsi dengan benar. Ia cukup mengerti betapa berpengaruhnya Tara untuk Athala. Anak itu selalu merasa cemas padahal Tara belum tentu peduli padanya.

"Skip aja. Isi kepala lo lagi nggak di sekolah kayaknya. Kenapa lo nggak minta izin balik sekalian ke Pak Gino kalau akhirnya lo malah repot sendiri."

"Pak Gino kejem, bisa dipenggal kepala gue kalau alasannya nggak logis. Lagian cuma antar Kak Tara balik, masa mau leha-leha di rumah." Ray mengangguk ia lupa siapa Athala. Jika diminta untuk menilai sikap Athala, Ray akan memberikan nilai 90 untuk Athala dengan sikap keras kepala dan menyebalkannya.

"Ya terserah lo deh, Thal." Obrolan mereka berakhir dengan kedatangan siswa yang hendak mengembalikan buku yang mereka pinjam.

Sejauh ini Athala tidak pernah meragukan niat Tara untuk meraih apa yang ingin kakaknya impikan. Tapi baru saat ini Athala meragukan niat itu hanya karena cedera yang Athala sendiri tidak begitu paham.

Menurut dokter spesialis tulang, cidera yang dialami Tara cukup serius, karena keras kepala Tara yang membuat cidera itu semakin lama untuk pulih.

Ia sempat mendengar sedikit dari obrolan Mamanya dan seorang dokter yang memang menangani kasus Tara. Awalnya Athala tidak memedulikannya. Bukannya tenang, Athala justru dibuat penasaran. Ia juga sempat membaca cidera yang Tara alami dibeberapa situs internet. Mungkin itu terdengar konyol bahkan Athala tidak yakin, namun detik seolah telah membekukan tempatnya. Ia pun membungkam mulutnya saat ia tak sengaja melintas di salah satu situs yang menyatakan bahwa cedera Hamstring merupakan salah satu cidera dengan pengobatan yang cukup lama, terlebih bila diingat, Tara sudah dua kali cidera di area yang sama.

"Thal! Yah, lo ngelamun lagi, balik ke kelas, ayo!" Athala tersentak, ia lupa kalau tugas jaganya sudah selesai.

"Lo pernah cedera nggak Ray?" tanyanya tiba-tiba, Ray mengangguk belum sempat menjawab. Tak lama Athala kembali bersuara, kali ini sedikit lesu, Ray bisa merasakannya.

Replay ✅Where stories live. Discover now