Rp G 11. Kita Lewati ini...

166 19 0
                                    

Hasil CT Scan harusnya menjadi kabar baik untuk Tara, harusnya Tara bisa tersenyum lebar saat ini, setelah sepekan ia menghabiskan waktu di rumah sakit.

Akibat drama rumah sakit dua hari lalu, Tara harus bertahan sedikit lebih lama karena aksi nekatnya yang membuat Popi marah besar. Tara memang keras kepala, itulah yang hampir Popi lupakan. 

"Kalau kemarin Lo nggak ada aksi percobaan bunuh diri, mungkin udah ada di rumah, Tar. Lo bandel banget sih, gue yang urus semua keperluan tim. Lo diem aja, tenang nggak perlu ribet, istirahat yang banyak, kondisi Lo nggak memungkinkan untuk ikut apalagi bertugas sebagai panitia event!"

Tara selalu lupa akan satu makhluk lain seperti Athala. Dia melupakan Rama, manusia yang tak kalah menyebalkan jiwa dan raga, bahkan Tara selalu perang batin jika Rama sudah bersuara. Selama hampir sepekan tidak masuk sekolah, keputusan terakhir yang diambil oleh Yudha adalah mengiyakan pelaksanaan even yang masih 50% untuk dikatakan dengan layak.

Terakhir kabar yang Tara terima, Yudha sempat mengeluhkan beberapa jenis perlombaan yang belum mendapatkan penanggung jawab juga panitia  perlombaan yang telah disetujui.

"Gue akan ikut! Gimanapun caranya." Alih mendapat jawaban, Tara justru mendapat sebuah tamparan yang begitu panas menjalar di seluruh tubuhnya.

Ia tidak buta untuk melihat tangan siapa yang sudah berani meninggalkan jejak di saat semua orang ada di hadapannya  yang sedang berusaha membujuk, meski hasilnya tidak membuahkan petunjuk yang pasti.

"Sadar! Lo itu bukan robot! Manusia macam apa sih Lo?  Kalau nanti, Lo mati di tengah teriknya matahari, siapa yang akan peduli? Nggak ada Tar! Nggak ada! Lihat gue sekarang!" Teriak Rama. Ia tidak pernah berniat untuk menyakiti apalagi sampai melukai Tara, tapi setidaknya Tara harus tahu, di sini bukan hanya dirinya yang akan terluka apalagi sampai kecewa. Tapi semua orang yang ditinggalkannya pasti akan jauh lebih menderita, terlebih mendengar cerita Athala kemarin, Rama benar-benar tidak sanggup untuk menahan diri untuk tidak meluapkan amarahnya pada Tara.

"Kalau Lo pergi, bukan hanya gue yang kecewa dan sakit nantinya. Lihat sekeliling Lo, ada Mama dan adik Lo Tar, mereka pasti khawatir. Percaya sama gue sekali ini aja, kalau ini gagal, Lo boleh maki-maki gue sepuas Lo, Lo boleh marah atau hajar gue semau Lo. Inget Tar, roda selalu berputar, sama kayak hidup, kadang Lo harus berada di bawah supaya Lo tahu gimana susahnya orang-orang di luar sana yang nggak bisa makan enak, tidur nyenyak, bahkan sekolah pun mereka harus susah payah buat kerja biar bisa mengenyam pendidikan sama kayak kita. Jangan abaikan luka kecil, Lo harus sembuh, sampai saat itu tiba, kabarin gue, kita akan tanding bareng di kejurnas musim depan."

Tara sadar dirinya terlalu berambisi, tapi ia tidak pernah menginginkan ambisinya terhadap Athala akan terbuang sia-sia. Ia hanya ingin Athala mendapatkan hak atas impiannya. Menjadi pemimpin saja tidaklah cukup jika impian sederhana tidak terpenuhi, setidaknya sudah berusaha walau akhirnya akan gagal.

👟👟

"Sori Tar, tadi kelepasan, gue gemes lagian, Lo keras kepala, kalau nggak di sadarin, mungkin Lo beneran datang ke sekolah," lirih suara Rama membuat Tara  menoleh.  Sejak dua jam lalu, Tara, Athala dan Rama hanya bisa saling diam.

"Lo juga sih, Kak. Kalau emosi itu diralat dulu apa, kasian Kakak gue, muka gantengnya bisa musnah, btw Lo tadI keren juga sih, gila, Kak Rama hebat!"

Mendengar Athala bersuara, mata tajam Tara meliriknya dengan sangat tidak nyaman. Bahkan anak itu tidak berani untuk melanjutkan apa yang ingin dikatakannya. 

"Lo adik gue atau Rama?"

"Anak Papa sih, cuma, lahirnya satu rahim aja sama Lo, Kak. Jadi ... Ya gue adiknya Gantara, setahu gue sih, begitu," kataanya begitu santai, hingga bantal yang menjadi sandarannya berbasil mendarat di wajah manis Athala.

"Bangsat Lo!"

"Ya, gue bergurunya sama Lo, gimana nggak begini, makanya Kak, akhlaq itu ditata yang bener, jadi kalau gue copas udah sempurna."

Kalau saja di ruangan itu tidak ada Rama, mungkin Tara sudah melempar apapun yang ada disekitarnya, meski itu ponsel berharga miliknya. Ia benar-benar kesal dengan Athala saat ini.

Hias merak tak seindah lamunan malam, bahkan ketika Athala mulai meneduhkan matanya, Tara hanya melihat jemari lentik itu terus bergerak ke atas dan ke bawah. Dari tempatnya Tara melinat ada raut sedih yang coba Athala sembunyikan darinya. Hingga suara pintu yang terbuka membuat mereka semua menoleh bersama.

"Lo Ray, kan?" tanya Tara. Cowok itu mengangguk, dengan senyum selebar samudera, Ray membenarkan kalimat Tara.

"Gue ke sini, mau jenguk, sekalian mau kasih tiket pertunjukan orkestra di Gedung Palmera besok lusa, buat Athala," kata Ray. Tara tak percaya dengan apa yang didengarnya baru saja. Matanya mulai menyelidiki adiknya dengan pertanyaan yang begitu membosankan untuk Athala dengar.

"Jangan bilang Lo kemarin bolos, Thal?" Satu pertanyaan yang berhasil membuat Athala mengangkat pandangannya ke arah Tara. 

"Gue bolos, bukan urusan Lo."

"Gue tanya, jawab yang bener!"

Untuk saat ini Rama benar-benar dibuat gila oleh dua saudara yang kini ada di hadapannya. Sejak pulang sekolah, Rama tidak langsung pulang ke rumah. Ia harus memberikan laporan pada Tara yang dimintanya beberapa waktu lalu. Mengingat banyak kekacauan yang dbuat Yusron, Tara tidak bisa diam begitu saja. Itulah  mengapa ia memaksa untuk pulang lebih cepat padahal keadaannya belum pulih. Terlebih, Tara sempat di serang typus yang kiranya hanya demam biasa. Dengan susah payah Popi menegaskan pada putranya untuk tidak masuk sekolah beberapa hari. Namun, bukan Tara jika tidak membantah aturan, padahal itu sangat beresiko untuk dirinya sendiri.

"Lihat gue Thal," pelan suara Tara membuat Ray tercengang. Cowok itu hanya bisa melihat dari tempatnya berdiri.

"Apa yang gue mau tutupin dari Lo, Kak? Lo tahu gue nggak bisa bohong, terus Lo nanya seolah Lo lupa kalau kita saudara," lirih. Seperti yang semuanya lihat. Di balik wajah ceria itu Athala menyembunyikan dukanya. Di balik wajah manis yang selalu diperlihatkan ke semua orang ada sedih yang coba ditahannya.

"Thal, gue nggak minta Lo buat pinter akademik. Gue juga nggak minta Lo buat jadi orang lain. Cukup jadi diri Lo sendiri, lalukan apa yang Lo suka, dalam hidup ini nggak semuanya bisa diraih dengan gratis. Lo tahu semua yang gue raih  selalu ditentang Papa. Bahkan Lo juga tahu kalau Papa nggak pernah suka dengan keputusan gue. Sekarang giliran Lo, kejar cita-cita Lo, raih apa yang Lo mau, bukan yang orang lain ingin." Terlalu mustahil untuk Athala, karena dirinya seperti terikat kontrak oleh Erza.

"Gue paham maksud Lo, Kak. Gue juga mau melakukan apa yang gue suka, sama kayak Lo. Tapi di sini, gue bukan Lo, yang dengan mudah melakukan segalanya walau aturannya udah jelas. Gue nggak bisa. Sekuat apapun gue berusaha, hasilnya akan sama. Gue cuma bisa berdiri di balik layar sampai pertunjukkan berakhir."

Tangan Tara sudah  berada di tempatnya, mengusap sebelah pipi adiknya sampai mata mereka kembali bertemu. Tatap hangat yang Athala lihat sangatlah berbeda.  Ada keyakinan yang coba Tara perlihatkan di sana.

"Kita mulai di sini, Lo dan gue."





👟👟 👟

Yayy... Akhirnya selesai, terima kasih telah berkunjung salam sayang dari GanThala. Tinggalkan jejak mu agar mereka makin semangat yuk, semangatin Tara dan Athala.

🤗🤗

🤗🤗

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.




Pubslih, 11 Sepetember 2021

Replay ✅Where stories live. Discover now