Rpl H 12. Dua Menit Yang Manis

145 19 0
                                    


"Lo itu kayak lebah, kapan aja bisa menyengat. Tapi sekalinya tenang, rasanya sunyi."

Sedikit yang Tara ingat sebelum kesadarannya diambil alih oleh gelap. Semua benar-benar membosankan. Sama seperti dulu, ketika Eza mengajak dirinya dan Athala untuk jalan-jalan.

Tidak seharusnya Tara membantah perkataan Eza, hanya saja pria itu terlalu keras berbicara pada anak remaja seperti dirinya yang selalu dianggap pembangkang. Sejujurnya, Tara benci, tapi detik itu Eza memberitahu Tara tentang satu hal yang sampai saat ini masih belum tahu apa yang Eza maksud.

Tara selalu dengan dunianya. Impiannya adalah satu, dari sekian banyaknya harpaan, Tara memilih menjadi sosok ambisius. Bukan tanpa alasan, hanya saja waktu telah mengatakan sesuatu padanya. Bahkan, waktu juga telah memberikannya kehidupan setelah kepahitan yang pernah ia lewati seorang diri. Kali ini Tara tidak ingin Athala merasakan apa yang pernah ia lalui dulu.

"Kak,  gue nggak mimpi, kan? Semalam Lo bilang... kalau kita bakal lalui semuanya bareng-bareng. Tapi, sekarang Lo kayak nggak bernyawa. Semalam Lo itu cuma pura-pura aja, kan? Bahkan pagi ini juga sama. Lo diem lagi, ada apa? Kenapa belakangan ini Lo lebih sering diem, padahal kita udah mau pulang ke rumah. Lo juga udah nggak pakai tongkat lagi. Meski Lo harus istirahat dan nggak boleh gerak lebih dari kapasitas tubuh Lo," ucap Athala. Tara menghela napas entah sudah berapa kali anak itu mengatakan kalau dirinya seperti hantu. Kenyataannya, Tara sedang tidak ingin bicara lebih banyak kecuali hanya hal-hal yang penting saja.

Tara menoleh ke sisi kiri, di sana ada Popi dan Eza. Sedangkan Rama  memutuskan pulang sejak kemarin malam. Tara tidak ingin merepotkan Rama lebih banyak lagi. Ia cukup tahu diri karena tak selamanya hidup harus bergantung pada orang lain, sedangkan diri masih bisa menopang segalanya walaupun berat, setidaknya dia sudah berusaha melakukan yang dia mampu.

"Apa keputusan kamu setelah ini?" Suara Eza lebih dulu menyela padahal sejak tadi hening memberi ruang lbih banyak dari pada harus menyela pembicaraan orang lain.

"Keputusanku tetap sama. Tapi beri waktu sedikit lagi, kalau aku nggak mampu, Papa boleh melakukan apa yang Papa mau, termasuk memasukkan aku ke universitas yang sudah Papa tuju, setelah aku lulus."

"Baik. Jadilah pewaris Permana yang berguna, karena Papa tidak suka dengan anak pembangkang."

Popi di sana, Popi mendengar segalanya sejak kemarin Eza hanya membahas tentang tujuannya, keinginannya, bahkan ambisinya yang telah lama ia inginkan. Bukan hanya Tara, tapi pada Athala yang jelas-jelas tidak pernah menyukai dunia bisnis. Tara dan Athala hanya ingin dunia mereka yang sebenarnya. Bukan dengan paksaan, apalagi ambisi yang mereka tidak pernah harapkan. Kalaupun ambisi itu terjadi, pasti murni dari keinginan mereka sendiri.

"Aku pernah meminta Papa untuk tidak memaksa seseorang melakukan apa yang dia tidak suka. Papa lupa?" Suara dingin Tara kali ini lebih menyeramkan daripada semalam. Terlihat jelas bagaimana Athala membelalak ketika ia sedang membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang.

"Papa ingat, lalu kenapa?"

"Nggak. Papa bohong. Papa nggak pernah ingat apa pun yang pernah kita bicarakan. Yang Papa ingat hanya kesenangan Papa, tanpa Papa sadar, kalau apa yang Papa lakukan itu salah. Papa nggak pernah mikirin perasaan orang lain, karena Papa cuma mikirin diri Papa dan tujuan Papa aja."

"Gantara!"

"Apa?! Papa selalu bilang ini dan itu, tapi apa ? Papa nggak pernah sedikitpun nanya apa mau aku atau Athala. Papa itu egois. Papa cuma mau keputusan, bukan kepastian. Keputusan Yang Papa udah buat sesempurna mungkin tanpa peduli akan cacat atau nggak nantinya."

Ruangan itu terasa lebih panas dari sebelumnaya. Ada api yang menyala begitu besar dari keduanya, kepala kedua tangan Tara begitu nyata, tatapannya begitu tajam, begitu juga dengan Eza meski terlihat santai dengan kedua tangam yang dimasukan ke dalam saku celana bahannya. Pria itu nampak baik-baik saja, seolah apa yang sedang terjadi adalah hal wajar.

Replay ✅Where stories live. Discover now