Rpl G 18. Kotak Musik

135 14 0
                                    

"Tolong gue,Kak! Di sini gelap banget, nggak ada siapa-siapa."  Athala sendirian, ya. Athala sendirian di sana, dengan ditemani debu yang membuatnya hampir kehilangan oksigen.

Rumah yang dianggapnya tempat kembali, rumah yang dianggapnya tempat berlindung, dan rumah yang dianggapnya tempat paling nyaman untuk melepas lelah. Kini, tak ada kata yang tepat selain menyesal telah menyetujui apa yang Eza minta.

Siang itu, sepulang sekolah Athala memilih pulang sendiri. Meminta Tara untuk mengantarkannya sangatlah mustahil, ia tahu kalau kegiatan di sekolah sangat padat. Terlebih, saat itu event baru saja dimulai. Benar-benar hari pertama yang  sangat melelahkan untuk Athala, padahal dirinya tidak ikut serta apalagi ikut campur dalam kepanitiaan. Tapi, tetap saja rasanya sangat lelah, belum lagi melihat Tara yang mondar-mandir ke sana dan kemari dengan keadaan yang bisa dipastikan belum pulih sepenuhnya.

Ia sempat menitip pesan pada Yuda, mungkin lelaki itu lupa menyampaikannya pada Tara, karena kegiatan yang lumayan padat untuk hari pertama dengan lomba yang cukup banyak.

Yudakala, nama yang selalu disanjung setiap kali sekolah mengirimkan  perwakilan siswanya untuk ikut serta dalam berbagai perlombaan. Namun, saat itu Yuda memilih menjauh dari Tara, bahkan menjaga jarak walau dia ingin dekat.

"Kak Yuda, nanti kalau ketemu Kak Tara, tolong bilangin gue pulang duluan,ya. Gue udah chat dia juga, tapi nggak dibales, dibuka aja nggak kayaknya tuh, tolong banget pokoknya. Makasih."

Yudakala
Tar, sori. Kemarin harusnya gue nyampeiin sesuatu sama Lo, tapi gue lupa karena udah keburu emosi. Kemarin Athala nitip pesan, kalau dia balik duluan. Gue baru ingat waktu gue  sampai di rumah.

Pesan yang dikirim Yuda di pagi buta. Semua amarah yang bergejolak sejak kemarin ingin sekali Tara lampiaskan pada seseorang, sayangnya tak ada siapa-siapa kecuali Rama yang saat ini sedang duduk di hadapannya.

"Kenapa nggak dimakan? Lo belum sarapan tadi," kata Rama. Tara tidak berniat untuk makan apalagi untuk buka suara. Tapi, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak bicara pada Rama tentang kegelisahan yang sedang berkeliaran di kepalanya.

"Seandainya Lo anak pertama, apa yang akan Lo lakuin?" Tiba-tiba suara Tara berhasil mengganggu pendengaran Rama, yang sedang asyik menyeruput es jeruk yang dipesannya beberapa menit lalu.

"Ya, Lo pakai nanya, kan, gue nggak punya adik atau kakak, Lo lupa? Jadi, gue nggak tau rasanya kayak apa, gue ngeliat Lo aja rasanya mau mati tiap hari, Lo galak, serem, nyebelin lagi, kenapa?"

"Gue, mau berenti dari tujuan yang udah gue target selama ini." Pelan, tapi berhasil membuat Rama terdiam sambil mengepalkan kedua tangannya di atas meja. Pandangannya ia alihkan ke arah Tara sepenuhnya. Rama kesal?

Tentu!
Rama sangat kesal saat ini, bukan lagi hal biasa bila Rama kesal sampai berani menatap Tara dengan tatapan tajam seolah amarahnya sedang memuncak.  Sejak kemarin sikap Tara sangat aneh, melamun tak jelas, mengigau disaat tidur.  Hanya karena Athala yang pergi tak pamit padanya.

"Jangan jadi tolol deh. Lo kira, dengan Lo ngomong kayak barusan, bakal buat semua ini balik kayak semula? Nggak, Tar!  Kenapa sama Lo? Lo boleh kecewa, Lo boleh sedih, Lo juga boleh marah, nggak masalah. Tapi Lo nggak bisa mengubah apa yang udah terjadi."

Rama tidak suka dengan sikap Tara yang belakangan plin-plan. Hanya karena ambisinya untuk meyakinkan Eza kalau sebenarnya Athala tidak senang dengan keputusan yang pria itu jatuhkan.

Tara ingat, sekitar tujuh tahun lalu, saat usianya baru menginjak sepuluh tahun. Usia yang bisa dibilang masih sangat muda untuk mencerna apa arti sebuah pengulangan jika seseorang salah dalam melangkah.

Replay ✅Where stories live. Discover now