Penutup

151 12 0
                                    

Dua kata untuk mewakilkan perasaan Tara, itulah yang harusnya Rama lihat saat ia hendak memberi surat berisi hadiah paling istimewa untuk Tara.

"Gue lolos!"

"Ya, karena gue juga, kan?"

"Nggak."

"Iya!"

"Nggak!"

"Iya!"

"Lo ngalah dong Tar," protes Rama. Cowok itu benar-benar kesal ketika tahu kalau Tara memang bukan manusia yang benar-benar baik.

Beberapa bulan lalu, setelah  kepergian Athala dan Popi,  cowok itu lebih sering menyendiri dan melamun. Namun, semesta telah memberitahu suatu arti tentang bahagia meski tak selalu dengan yang menyenangkan. 

Tak ada yang spesial sebenarnya. Namun, angin pernah berbisik, kalau Tuhan tidak akan pernah tidur. Burung bernyanyi, memberitahu, kalau waktu akan mengajarkan banyak  hal. Meski lewat ingatan yang hampir terlupa. Terlihat biasa saja memang, tapi sangat berbeda jika dirasakannya dengan penuh hati-hati.  Menikmati setiap detik, walau tahu waktunya singkat.

"Lo udah tua Ram. Nggak usah kayak bocil, jijik gue."

"Lo lagian, gue minta pakai kasih dan cinta, jijik gue!"

"Heh! Sadar diri lah, gue kasih tahu, kemarin yang mohon-mohon  minta dianterin di  depan pintu kamar gue siapa? Dua hari lalu, yang teriak-teriak nggak jelas karena surat pengajuannya diterima, itu siapa? Setan? Ngaca, Tar! Lebih jijik mana gue sama Lo?"

"Itu kebetulan."

"Mana ada kebetulan tingkahnya kayak orang kesurupan?"

"Ram... Udahlah, udah lewat,  gue lagian itu– itu, " katanya terbata. Rama mencimingkan kedua matanya untuk mencari kebohongan apa yang sedang Tara rencanakan.

"Udah tahu gue, ngaku Lo! Tiketnya hilang? Bagus banget temen gue ini, minta ditonjok dulu baru sadar," ucap Rama. Sementara si pelaku gak oeduli, entah bagaimana bisa tiket yang sudah dibelinya jauh-jauh har bisa hilang begitu saja? 

Yang pasti ia tak lagi bisa menahan diri untuk menghindar dari Rama.

"Sori. Tapi, gue mau bilang makasih.  Sejuah ini Lo masih mau berdiri bersama gue, meski Lo tahu gue nggak sebaik apa yang orang lain pikirin. Gue terlalu kasar dalam segala hal. Gue terlalu pengecut, takut, bahkan gue nggak bisa bangkit sendirian, kalau seandainya waktu itu Lo nggak ada."

Rama terdiam, mendengar ucapan Tara yang begitu tiba-tiba. Ia pun memilih duduk di bawah lantai sambil berselonjor kaki. Walau keringat masih berbaris melintasi wajahnya.

"Maksud Lo apa? Makasih segala. Lo pikir gue bantuin Lo minta imbalan? Nggak ada, ya kayak gitu!  Gue tahu dunia luas, tapi terasa sempit kalau pikiran Lo nggak dibuka lebar. Lihat sekeliling Lo, masih banyak orang yang mikir kalau Lo kejam, padahal boro boro. Mereka cuma bisa lihat covernya doang, nggak ngerti apa-apa. Nggak tahu apa apa tentang perjalanan Lo yang gue rasa cukup berat. Lo punya Papa yang macam setan,  sori kalau kasar. Kenyataannya Om Eza kayak Om-om pasikopat. Untung sekarang udah tobat. Coba kalau nggak? Bisa mati berdiri gue lihat Lo kesiksa tinggal sama Papa Lo itu." oceh Rama. Tara terkekeh, lagi-lagi Rama memberi sebuah celah, agar duka tak seharusnya disembunyikan sendirian. Ada kalanya berbagi meski semuanya terasa berat. Ada kalanya memendam, jika waktunya belum tepat.

Setidaknya Tara sadar, kalau memilih teman juga butuh ketelitian, ada seleksi alam yang manusia belum menyadarinya.

Katanya sesuatu yang dipikirkan dengan matang akan menentukan hasil yang memuaskan. Sama halnya dengan teman. Ada saat teman juga bisa menjadi musuh. Tergantung bagaimana mereka menyikapinya.

Replay ✅Место, где живут истории. Откройте их для себя