Rpl G 8. Pilihan

185 17 4
                                    

"Tara Janji, Ma."

Gantara. Manusia berhati beku, keras kepala, dan egois. Mungkin masih banyak lagi, entah apa yang akan dipikirkan orang sekitar tentang dirinya. Saat ini Athala hanya melihat Tara yang lemah, meski tadi sudah diperingatkan oleh Popi untuk tetap di rumah, tapi cowok itu menolak. Akhirnya ruang kesehatan jadi tempat pelarian pertama setelah mengikuti 2 mata pelajaran sebelum bel istirahat pertama berbunyi.

Athala tak hanya seorang adik yang ingin melihat Tara senyum, ia juga selalu ingin menjadi teman sekaligus sosok sahabat untuk Tara. Tara, namaya selalu Athala ingat tiap kali anak itu melamun di meja belajarnya ketika malam tiba,  sambil memandang bingkai foto yang diletakannya.

Setiap kali melihat Tara terjatuh saat di lapangan hijau, Athala akan berteriak sekeras mungkin untuk menyemangati Tara. Bahkan setiap kali Tara sedang latihan Athala akan memaksa agar dirinya bisa ikut meski hanya menonton. Dia akan menikmati jalannya permainan dengan musik instrumen yang akan distelnya dari playlist yang ada di ponselnya. 

Sama seperti saat ini, Athala begitu menikmati lantun musik instrumen yang menggunakan alat musik seperti violin, sambil memejam bahkan tak sadar kalau Tara sedang menatapnya dengan begitu tenang.

"Cannon in D Major."

"Lo tahu? Eh, Lo mau ngepain Kak?"  Tara mengangguk kecil.

"Bangun. Pegel." Dengan sigap Athala membantu Tara, sementara cowok itu masih memijat keningnya karena masih terasa begitu pusing. Bahkan ia tak tahu apa yang terjadi, yang dia ingat dirinya masih berada di dalam kelas mendengarkan Bu Ayunda menjelaskan materi yang ada di papan tulis.

"Kenapa?"

Athala terdiam sejenak saat Tara menatapnya. Cowok itu seolah sedang memikirkan sesuatu saat masih berada di rumah.

"Kenapa Lo suka ganggu gue, Thal?"

Kali ini Athala benar-benar diam. Dirinya seolah sedang mendapat serangan mendadak. Untung saja  di kelas Athala sedang tidak ada guru, jadi dirinya bisa menemani Tara, bahkan ketika mendapat pesan dari Rama pun, Athala dengan segera datang.  Kini mereka benar-benar berdua, tak ada siapa pun di sana, sementara di luar sangat ramai siswa yang sedang lalu lalang. Entah itu hanya mengobrol atau yang lainnya.

"Lo itu terlalu baik, Thal."

"Terus kenapa kalau gue baik? Ada yang kasih undang-undang penilangan kebaikan? Nggak, kan? Ada apa sama Lo?"

"Gue benci!"  Seketika kerja jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Athala tak mungkin salah dengar, meski musik diponselnya masih menyala dan melantun manis diantara mereka. Tatap mata Tara benar-benar sulit ditebak  meski Athala mencoba untuk mencari kebenarannya di sana.

"Lo boleh benci sama gue, tapi jelasin ke gue, kenapa?"

Tara menggeleng, ia tak mampu untuk menatap Athala lebih jauh, ia pun meneduhkan pandangannya. Meski kedua tangannya  sedang meremat kuat tempat yang saat ini didudukinya.

"Jadi diri Lo sendiri, Thal. Nggak perlu bohong sama keinginan Lo demi Papa."

"Gue Athala, apalagi yang mau gue buktikan. Apa gue harus ubah identitas  dari Nathala sebagai  Meghan? Nggak, kan? Apa masalah Lo?"

"Lo nggak ngerti, itu yang Lo harus pahami sekarang!"

Tara muak melihat Athala yang selalu berpura-pura padahal dirinya sangat ingin. Bagi Tara, Athala sudah seperti sepeda, bila tak ada rantai sepeda tak akan berjalan dengan baik. Seperti itu juga Tara untuk Athala.

Sejauh ini, Athala sudah memenuhi tugasnya sebagai seorang adik, hanya saja, Tara yang jarang menginginkan keberadaan Athala di sekitarnya. Menurutnya Athala terlalu klasik, seperti piringan hitam yang diputar, dia begitu langka.

Replay ✅Where stories live. Discover now