Rpl G 13. Waktu Yang Salah

122 19 0
                                    

"Tara nggak salah Pak. Dia justru yang menyelamatkan nama baik sekolah kita di hadapan semua orang."

Lantun musik yang terdengar dipenjuru sekolah seolah menghentikan semuanya. Ada irama yang begitu menyekat banyak perhatian semua penghuni yang ada di aula saat rapat berlangsung bersama para panitia penyelenggara yang lain.

Rintik hujan tak akan pernah berhenti, jika mendung masih menjadi terlihat jelas di atas sana.
Perlan-lahan, airnya akan turun deras seiring gemuruh kilat menyambar.
Tak banyak yang tahu, kapan langit akan kembali tersenyum, berubah menjadi cerah.

Aku, pernah berharap, pada waktu, jika mungkin...
Sampaikan pada semesta kalau seandainya waktu dapat diputar maka aku akan meminta satu hal pada alam.
Tolong hentikan  hujan,dan datangkan pelangi sebagai pengganti.

Dua bait puisi yang di sertai melodi indah dari permainan piano yang terdengar. Semua orang di sana hanya bisa terpaku, mendengar suara lembut yang tidak tahu milik siapa. Sementara amarah yang semula menggebu kini berubah menjadi tenang.

"Itu Athala, kan, Tar?" Bisik Rama, di saat beberapa orang di sana sedang menikmati melodi indah yang sedang berlangsung cukup lama.

"Gue tahu, tadi dia minta izin sama guru musik buat pinjem ruang musik sebentar." Rama mengangguk, tapi apa yang Athala lakukan? Melodi itu seperti sedang membawa pesan pada mereka yang sedang mendengarkannya dengan seksama.

"Dengar Tara, saya tidak peduli ini hal kecil atau besar. Tapi saya tetap akan minta penjelasan pada kalian semua sebagai panitia usai acara ini selesai."

Bukan hal aneh jika Pak Zio marah, tapi kali ini Pak Zio benar-benar murka  terlihat jelas ketika lelaki itu pergi meninggalkan tempat di mana pertandingan futsal berlangsung.

"Tar, Adek Lo dipanggil di ruang konsultasi sama Kak Wisnu." Teriak salah satu siswa yang kini sudah berada di hadapannya. Ia terlihat lelah,     bahkan butir-butir keringat mengalir bebas di sana.

Tara tidak mengerti apa yang terjadi saat ini, bahkan ia seperti sedang melewatkan banyak hal yang harusnya ia lalui biasa-biasa saja. Namun, kali ini rasanya berbeda. Ada lubang seperti lorong panjang saat Tara memejamkan matanya beberapa menit lalu.

"Kak Tara!"

"Balikin harmonikanya, nanti gue bilangin Mama, Lo dimarahin!"

"Kak Tara!"

Dari tempat Tara berdiri, Tara bisa mendengar lantun indah yang berasal entah dari mana. Ia hanya bisa membawa langkah kakinya pergi menyisir koridor yang sepi. Tara ingat puing masa lalu itu, Tara ingat tempat di mana mereka berdiri sambil bergurau. Moment kecil ketika Tara sedang mengganggu adiknya berlatih diam-diam di belakang gedung sekolah.

Ya. Tara ingat. Tara ingat saat Athala pergi setelah dimarahi oleh Papa. Dan kini, Tara telah berhenti di depan ruangan yang sejak tadi membuatnya penasaran. Perlahan ia pun menggeser pintu ruangan tersebut, di sana ada Athala sedang duduk, di balik piano hitam. Pejam matanya menandakan kalau dia sedang ingin sendiri, tapi Tara  kembali melangkahkan kakinya untuk mendekat. 

"Jari lo capek kalau dipaksa Thal."

Ulur tangan saat menyentuh bahunya membuat Athala membuka mata sekigus menghentikan permainannya. Ia pun menoleh. Alih-alih menjawab, Athala justru memeluk Tara begitu erat.

"Kak, tolong bilang sama Papa, gue nggak bisa memenuhi apa yang Papa mau." Lirih suara Athala membuat perasaan Tara terenyuh, ia tidak pernah mendengar keluhan apa pun dari Athala.

"Kak, gue nggak mau jadi anak durhaka, tapi gue juga nggak mau melepas mimpi gue, sama kayak Lo. Tolong bilang ke Papa, gue mau nentuin pilihan gue sendiri."
👟👟

Replay ✅Where stories live. Discover now