Rpl G 23. Terima Kasih Luka

414 15 0
                                    

Seandainya waktu berjalan mundur, Tara ingin mengulang waktu yang dulu pernah ia tinggalkan. Ia tidak pernah berharap memiliki waktu yang panjang,  setidaknya sekali untuk mengingat bagaimana harinya pernah bahagia bersama Athala.

Tara tak akan pernah bosan untuk mengatakan kalau dirinya sangat merindukan Athala setiap kali mendengar instrumen, atau melihat musisi jalanan sedang bermain dengan begitu indah.

Sangat aneh, tapi dari sana Tara banyak mempelajari hal-hal baru. Hal-hal yang belum pernah ia temukan semasa Athala masih ada. Ia hanya ingin melihat Athala duduk diantara para musisi dengan alat musik yang mereka sukai.

Senyum Athala terlalu mengerikan untuk diingat, anak itu tidak pernah membiarkan Tara tidur nyenyak walau sebentar. Tara juga ingat, ketika ia meminta tolong pada Athala untuk tugas kesenian yang diberikan oleh Pak Ronald. Anak itu sangat jengkel, ketika Tara meminta banyak hal, meminjam barang-barang miliknya dan yang paling lucu menurut Tara, saat Athala datang dengan bantal kesayangannya.

"Kak! Gue nginep di sini, ya? Di kamar gue serem."

"Bilang aja numpang ngadem."

"Ya, tujuannya biar bisa nyenyak aja sih, jangan pelit ah."

Saat di mana AC di kamar Athala rusak, anak itu banyak beralibi. Padahal, kenyataannya di kamar Athala terlalu sunyi, tidak seperti kamar Tara yang ramai dengan beberapa poster pemain sepak bola yang dipajang di dua sudut kosong di dekat meja belajarnya.

Sejak masih duduk di bangku SMP, Tara pernah bercita-cita ingin bertemu dengan salah satu pemain dunia sekelas Ronaldo, bahkan dia juga pernah berkhayal bisa pergi ke negeri Samba, tempat pencetak para pemain hebat.

Impian itu masih berlanjut, hingga akhirnya dia bisa menemukan sekolah  yang di dalamnya terdapat club' sepak bola.  SMA Yudika, salah satu sekolah terkenal, selain SMA CAKRAWALA dan ANTARIKSA. Meski saat itu, ekstrakulikuler tersebut sedang vakum, kabarnya karena kurang pemain dan peminat tidak ada. Itu lah mengapa  Tara sangat ingin menunjukkan bakatnya pada semua orang.

"Tar, Lo oke?" Tara tersentak, kemudian menoleh, lalu mengangguk.

"Gue datang Thal, apa kabar? Gue ke sini karena gue kangen, gue juga mau kasih tau kalau, gue keterima di club' favorit gue. Gue juga datang ke konser solo pemain pianis terkenal itu."  kata yang tak pernah tertinggal walau tahu suaranya mustahil terdengar.

"Thal, gue di sini, tapi rasanya beda. Lo nggak ada di saat gue butuh, atau Lo marah sama gue, kalau gue buat Lo repot." Tara menunduk sebentar.  Meski gahu setiap kali mengjngat kenangan tentang Athala,  rasanya sesak.

Ada banyak hal yang Tara coba buka perlahan-lahan, ada banyak luka yang coba Tara ceritakan sedikit demi sedikit. Ia tahu kalau rasa tak akan pernah sama, walaupun ada, mungkin  tidak senyaman yang lama. 

Usap halus yang Tara terima tidak sehalus dan selembut usap hangat yang Athala atau Popi berikan. Tangan terlihat sama, tapi rasa gak bisa menyerupai, begitu juga dengan kehilangan.

"Lo bahagia di sana, ya. Gue akan selaalu berdoa semoga Lo datang dalam mimpi."

"Lo bisa bangkit Tar, Lo nggak pernah sendirian, kan, ada gue?"

Tara tidak pernah melupakan satu kalimat yang selalu Rama katakan hampir setiap waktu.

Nyawa hanya bisa ambil oleh pencipta-Nya. Manusia nggak boleh meminta lebih kalau sudah waktunya,manusia nggak bisa nolak atau bernegosiasi. Semua udah ada bukunya masing-masing.

Terkadang Tara heran, Rama begitu dewasa padahal cowok itu tidak memiliki saudara seperti kakak atau adik. Bahkan sepupu saja belum ada, karena kedua orang tua Rama sama-sama tunggal, terasa sangat sepi bila Rama pergi, terlebih Mama Rama, selalu meminta Athala atau Tara untuk menginap di rumah.

Replay ✅जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें