Rpl G. 4. Nggak Sengaja!

258 26 2
                                    


Duo for Two Cellos Op. 51 No. 1: I. Allegro, melantun indah dalam kamar Athala malam ini. Suaranya terdengar begitu indah bahkan embus angin yang masuk melalui jendela kamar yang masih terbuka pun seolah menyapa. Athala sangat menyukainya, sampai ia tidak menyadari kehadiran Tara yang berdiri di depan pintu kamar. 

Tara bisa melihat bagaimana adiknya sedang menikmati lantun merdu dari piringan hitam yang dipasangnya di atas Vinyl player. Sebuah aset berharga yang pernah ia dapat dari mendiang Kakek, ketika mereka berkunjung ke desa. Di mana  Kakek dan Nenek mereka tinggal.

Tara ingat saat itu, Athala terlihat begitu senang ketika ia memberinya sebuah harmonika yang dibelinya dari sisa uang jajan. Bukan tanpa alasan, Tara memberinya. Ia tahu kalau Athala sangat suka dengan musik orkestra, bahkan, Tara sendiri yang menemani anak itu, meski ia sangat bosan berada di dalam ruangan dengan suasana harmoni yang begitu membosankan untuknya. 

Ia tahu kalau Athala diam-diam selalu datang ke rooftop sekolah untuk menghindari keramaian. Dan kali ini, Tara kembali melihat sejuk wajah adiknya meski anak itu duduk menyamping di dekat jendela sambil memejam, tak lupa  dengan alas sebuah permadani berukuran sedang.

"Thal?" Panggilnya. Perlahan Athala pun membuka matanya, kemudian menoleh ke arah pintu. Di sana ada Tara yang berdiri kepayahan dengan tongkat yang selalu ia benarkan posisinya.

Tara sudah sangat kesal, jika berjalan harus menggunakan tongkat setiap hari, tapi ia tidak lupa dengan penjelasan dokter. Ia hanya bisa menunggu, untuk beberapa waktu, itulah yang kini ia harus pahami. Tapi sekali lagi, Tara sangat tidak sabaran, karena itulah, kondisinya justru makin lama untuk pulih.

"Ada apa Kak?" tanya Athala. Anak itu pun berdiri, lalu mendekat ke arah Tara. Tara bisa memerhatikan  wajah tenang Athala saat ini. Padahal ia ingat betul bagaimana Athala kesal ketika membantunya tadi.

"Pinjem lem sama gunting." katanya. Tara bukan sosok Kakak yang kejam, hanya saja tatapnya terkadang menyeramkan. Bahkan nada bicaranya pun tidak seperti orang yang benar-benar  ingin meminta atau meminjam sesuatu.

"Punya lo ke mana?" pelan suara Athala saat anak itu berbalik dan melangkah menuju meja belajarnya. Ia pun mengambil apa yang diminta oleh Tara.

"Hilang."

"Nih. Yang ini jangan dihilangkan, gue belum beli lagi." Tara mengangguk, setelah Athala memberinya.

"Kenapa ? Ini, katanya mau pinjem?"
Tara diam sejenak, ketika pandangnya ia bawa pada sebuah bingkai foto yang dipajang manis di atas meja belajarnya. Rasa penasaran Athala terbayar saat ia mengikuti arah pandang Tara sampai kakaknya terdiam cukup lama.

"Itu..."

"Ya, itu lo. Dengan nomor punggung kebanggaan lo, kenapa?"

Athala bisa melihat sendu di mata Tara yang begitu ingin kembali ke lapangan hijau bersama teman-temannya.

"Ingat Kak, jangan sampai hilang." Keras suara Athala hampir saja membuatnya tersandung kakinya sendkri. Tara sadar ketika ia memandangi bingkai fotonya, Athala sempat menatapnya dengan cara yang paling Tara benci.

Sajak memang tidak bisa disentuh langsung, kecuali dibuat sebuah kata dengan rasa di dalamnya. Athala masih mengingat kata-kata yang pernah dikatakan oleh Tara ketika mereka berdiri di tengah lapangan  basket. Saat itu cuacanya sangat sejuk, tidak terlalu panas, padahal langit belum menunjukkan tanda kalau sore akan tiba.

Meski Athala tidak mengerti, tapi ia bisa menangkap sedikit dari kalimat Tara setelah cowok itu mengatakan hal lain tentang rasa suka dan tidak.

"Kalau lo suka, lo lakuin. Bukan dipendam tapi nggak gerak-gerak. Ibarat permainan  bola,  kalau gawang terus dijaga juga nggak enak. Harus ada usaha buat mengulangnya biar bisa mencetak angka ke gawang lawan. Kalau lo hidup cuma buat memerhatikan orang lain, terus kapan jalannya? Hidup itu nggak cuma  menikmati aja, Thal. Ada saatnya lo harus bergerak dengan usaha lo sendiri. Ingat Thal, Papa nggak suka,  bukan berarti Mama dan gue juga nggak suka. Lo sendiri pernah bilang ke gue, hidup itu harus maju terus, sekarang gue udah maju sebagai orang nomor 1 di tim gue. Terus lo kapan?"

Replay ✅Where stories live. Discover now