Rpl G 15. Menghilang Perlahan

158 16 0
                                    

Haruskah semuanya berakhir dengan kegagalan tanpa usaha? Haruskah semua diakhiri dengan wajah yang tertunduk malu, hanya karena sikap yang dianggap salah?

Harusnya Tara bisa menyadari semua kekeliruan itu sejak pertama kali rapat dimulai. Sejak pertama kali Yusron memaksa untuk menghubungi Yuda. Dan ketika ia berkelahi dengan Yusron, hanya karena kesalah pahaman. Harusnya Tara bisa menyadari semua itu sejak awal, tapi mengapa justru sebaliknya yang Tara lihat, dengan yang Tara dengar sangatlah berbanding terbalik.

"Ram, dengar gue. Ini nggak aman, gue harus bilang ke Athala sekarang."

Rama tidak mengerti sama sekali dengan ucapan Tara yang sejak tadi membuat dirinya bingung. Bahkan Tara juga sempat menolak bantuan Rama ketika ia hampir kehilangan pijak karena dengan tiba-tiba nyeri pada kakinya kembali  mengganggu.

"Ram, kalau gue harus kehilangan kesempatan buat ikut kejurnas bareng sama tim kita, Lo harus terus maju sampai akhir." Rama menghentikan langkahnya, sejak tadi Tara hanya diam, bahkan ketika ia bertanya soal Athala saja, Tara tidak menyahut atau berkata apa pun. 

"Emang Lo mau ke mana, Tar? Mimpi Lo kan mau jadi pemimpin lapangan hijau, masa Lo mau lepas mimpi itu, payah Lo. Mana Tara yang gue kenal? Katanya, Tara nggak kenal kata menyerah sebelum berjuang. Sekarang ... Usaha aja belum, udah nyerah duluan," kata Rama.  Dari balik  Tara tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, ia hanya ingin melindungi apa yang paling berharga walau waktu yang ditempuhnya tidak banyak.

Tara tidak ingin mengulang kesalahan yang sama, tidak lagi ingin berada di ruang yang sepi, dan tidak lagi ingin menghadapi orang-orang yang begitu dingin. Itu sangat menakutkan untuk diingat. Baginya, Athala segalanya. Baginya Wthala rumah dan tempatnya melepas lelah, di saat semua orang pergi, Athala justru datang untuk menghibur.

"Tar, gni, ya. Kalau Lo capek, Lo bisa istirahat, kalau Lo sedih, Lo bisa cerita ke gue, Lo kira gue siapa? Kita udah kenal lama banget, sampai gue tahu apa yang Lo suka  dan Lo nggak suka. Ibarat pemain sepak bola, gue  bolanya. Kalau nggak ada bola, gimana caranya mau main? Hidup di dunia nyata emang nggak sebagus  negeri kayangan. Kita harus berusaha sampai dapat apa yang kita mau. Kalau Lo punya masalah, apa salahnya Lo cerita ke gue? Gue siap bantu, tanpa Lo minta pun, gue akan bantuin  semampu gue."

Sebenarnya Tara malu, tapi apa yang Rama katakan selalu berhasil membuatnya lemah dalam  sekejap. Meski saat amarahan sedang mmuncak, cowok itu justru datang untuk memeluk dengan cara yang berbeda.  Kini mereka memilih menghabiskan waktu bersama, menyisir jalan setapak yang sempat Tara lewati untuk mengikuti ke mana Yusron pergi.

Hening membuat keduanya terasa asing, hingga akhirnya Rama berhenti di sebuah halte bus. Cowok itu menurunkan Tara di kursi penunggu, kemudian berdiri di hadapannya sambil memegang kedua bahu Tara, sampai si pemilik mendongak menatap Rama untuk yang kesekian kalinya.

"Makasih, Lo udah mau dengerin gue, Tar. Gue tahu Athala segalanya, tapi jagan lupa, diri Lo juga butuh perhatian. Lo punya mimpi dan cita-cita yang harus Lo kejar sampai akhir. Sekarang, Lo buktiin itu, tunjukkin sama Om Eza, kalau Lo bukan anak yang nggak bisa apa-apa." katanya pelan. 

"Yang Lo harus tahu sekarang, semua orang punya jalan masing-masing buat dia bisa bangkit. Punya cara yang nggak semua orang bisa lakukan. Dan nggak semua orang juga punya semangat yang tinggi buat raih apa yang dia mau, padahal itu bukan buat dirinya sendiri. Ingat, Tar. Ada kalanya orang merasa dirinya paling tinggi dengan kekuasaan, dan menjadikannya orang yang nggak tau apa-apa, tapi sok tau dalam segala hal,"

Ada jeda yang Rama simpan sebelum ia kembali bersuara untuk meyakinkan Tara.

"Orang kayak gitu cuma terlihat pandai di luar, tapi nggak ngerti apa-apa. Mereka bisa ngomong banyak hal, bilang ini dan itu, tapi nggak ngerti caranya. Tapi Lo? Lo nggak kayak gitu Tar, Lo melakukannya dengan hati-hati, meski semua ornag nggak suka sama cara Lo, tapi Lo masih mikirin orang lain walau orang itu udah jahat. Apa yang Lo lakukan itu, nggak semua orang bisa melakukannya. Ibarat bangunan, kalau nggak ada fondasi mana bisa bangunan itu kokoh, percaya sama gue, Lo itu nggak sama kayak mereka."

Replay ✅Where stories live. Discover now