Rpl G 16. Lebih Dari Cukup

146 16 0
                                    

Malam itu benar-benar terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Padahal Tara tidak menyalakan AC atau membuka jendela, tapi udaranya seakan telah membuat beku seisi rumah.

Ia sangat lelah, benar-benar lelah. Ia juga tidak sadar kalau dirinya sempat tertidur di meja makan, dan berakhir di dalam kamar dengan selimut yang sudah membungkus tubuhnya dengan sempurna.

Tara tidak ingat apa pun saat ini. Tapi ia tidak lupa kalau sebelumnya ia sempat membaca sebuah surat yang ditulis oleh Athala. Ia berusaha bangun, tapi pusing di kepalanya justru lebih cepat mengganggunya. Pusing. Benar-benar pusing, itulah yang Tara rasakan saat ia mencoba untuk duduk.  Tak terlepas dari segalanya, ia juga sempat memijat pelipisnya untuk sekadar menghilangkan rasa pusingnya.

"Akhirnya Lo bangun, Tar. Gue kira Lo kenapa tadi."  Tara segera menoleh ketika mendengar suara yang tak asing baginya.

"Kenapa Lo liat gue kayak gitu? Lo heran? Bingung?" celoteh cowok itu.

"Lo di sini? Mau ngapain?" tanya Tara tiba-tiba. Ia masih berusaha mengembalikan kesadarannya sebelum pertanyaan kembali datang menyambutnya dan akan membuat kepalanya semakin pusing.

"Lho, bukannya Lo sendiri yang telepon gue? Katanya di rumah Lo sepi banget, mana suaranya pelan kayak orang mabok, kan, gue khawatir, Tar. Untung baru Sampai depan gang rumah gue, jadi gue langsung melesat ke sini waktu Lo  telepon tadi. Eh, bukannya di sambut, gue malah jadi babu dadakan, gendong Lo dari lantai dasar buat Lo bisa tidur di kamar, asli badan Lo panas kayak api neraka. Panik gue, Tar! "

Sejenak Tara terdiam, apakah Rama benar-benar mengatakannya? Api neraka dia bilang? Apa Rama pernah bermain di neraka? Sungguh, sahabatnya sangat menyebalkan, tapi Tara tidak bisa mengatakan apa pun selain diam.

Ia berusaha mengingat kejadian beberapa jam lalu sebelum kesadarannya menghilang karena rasa  kantuk lebih dulu menyerang.

"Lo mau ke mana? Lo baru aja bangun,  Tar."  Tidak, Tara tidak bisa diam untuk saat ini. Ia butuh petunjuk tentang pesan yang Athala kirimkan padanya.

"Hp gue mana?" katanya, Tara pun berusaha  melihat sekitarnya, membalik selimut siapa tahu benda yang sedang dicarinya ada di sana. Tapi Tara tidak bisa menemukan petunjuk akan hal itu, bahka ia sendiri lupa terakhir kali ia meletakkan ponselnya di mana.

"Hp?" tanya Rama. Dengan cepat Tara mengangguk. "Oh, itu, tadi gue charger di kamar Thala, gue nggak tahu kalau colokan di kamar Lo lagi  konslet," balasnya.  Perlahan meski masih terasa pusing, Tara pergi walau ia tahu kakinya tidak sedang baik-baik saja.

Pengaruh cidera masih terasa begitu ngilu, padahal sudah lama. Tapi Tara masih bisa merasakan keram ketika dirinya mulai lelah.
👟👟👟

Katanya sudah berakhir, tapi nyatanya semua kembali pada tempat yang tidak seharusnya untuk diingat. Tara kembali pada dunianya. Bersama suara nyaring yang sering kali mendarat di lantai dingin.

Pecahan beling sering kali melukai telapak kakinya ketika ia melangkah. Pedih, tapi tidak terasa karena sakitnya bukan di tempat yang sama. Sakit yang benar-benar pedih tapi tidak pernah terlihat oleh siapapun.

Saat itu, setelah Tara membaca semua pesan Athala, ia berusaha menghubungi adiknya. Berkali-kali sampai dirinya lelah. Dan berakhir menghubungi Rama, entah ada keberanian apa ia mencoba menceritakan rasa takutnya pada Rama. Suaranya terdengar begitu lirihh dan bergetar.

"Ram, tolong ke rumah gue."

"Tapi kenapa Tar? Lo baik-baik aja,kan?"

"Iya, Lo tenang aja, gue oke, kok. Tapi tolong ke sini, ya?"

"Tunggu  gue, sepuluh menit lagi gue sampe."

Begitu singkat, bahkan tak jelas apa yang Tara ingin, tapi sesampainya di sana Rama di sana, pintu rumah itu masih terbuka lebar, bahkan saat ia melangkahkan kakinya ke dalam rumah si pemilik saja, rasanya benar-benar sunyi.

Sampai, arah pandangnya beralih pada sosok yang sedang duduk di kursi meja makan dengan kepala tertunduk di atas kedua tangan sebagai bantalannya. Untuk pertama kalinya Rama melihat sosok Tara yang benar-benar sedang berada di titik terlemahnya. Cowok itu sangat rapuh.

*Tar, Lo ngepain tidur di sini? Pindah ke kamar aja kalau Lo ngantuk," tanyanya. Perlahan Rama menarik bahu Tara agar ia bisa melihat apakah Tara benar-benar tidur atau hanya sedang mengerjai dirinya. Bukannya mendapat jawaban, Rama justru dikejutkan ketika ia menyentuh kening Tara.

"Panas banget. Tar, bangun hei, gue anter ke kamar Lo," katanya lagi. Apa pun yang Rama katakan hanya akan menjadi udara, tak akan terdengar apa lagi dijawab.

"Thal, pulang. Gue takut," gumam Tara. Rama mendengarnya, padahal kedua matanya memejam begitu damai. Tapi Tara mengingau beberapa kali, sampai ia kembali pada kenyataan kalau sebenarnya Athala tak ada di sana.

"Tar! Jangan bego deh, lihat, akibat Lo ngelamun, jari Lo luka!" pekik Rama. Tara kembali sadar, kalau dirinya sedang dalam keadaan yang tidak baik. Pikirannya sedang berkeliaran ke mana-mana. Bahkan saat ia mencoba memperbaiki Vinyl player milik Athala yang entah sejak kapan benda itu rusak.

"Lihat gue! Lo kenpa? Ini bukan Tara yang gue kenal." Tara tidak tahu apa pun. Semuanya terasa sepi, sangat sepi.  Walau ada Rama yang kini ikut berjongkok di depannya. Mengangkat dagunya agar dirinya bisa membalas tatap mata Rama yang sejak tadi dibuat bingung oleh sikap Tara setelah bangun dari tidurnya. Tapi Rama bisa melihat ada tatap khawatir yang begitu besar ketika Tara menatapnya, detik berikutnya, Tara membuat Rama diam membeku setelah menyandarkan kepalanya di sebelah bahu Rama.

"Tolong jangan gerak. Sebentar aja, gue capek banget."

Rama tahu apa maksud perkataannya, di balik sana, Tara sedang meluapkan sedihnya. Ia tak ingin terlihat lemah walau di sana hanya ada Rama seorang.

"Gue tunggu kok, sepuas Lo, gue nggak masalah, kalau emang dengan cara kayak gini buat Lo  sedikit lega." bisik Rama, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia hanya bisa berharap pada semesta kalau waktu bisa diputar kembali, izinkan untuk Tara untuk memperbaikinya dan mengembalikan waktu yang tersisa agar ia bisa melihat Athala  kembali. 

"Gue nggak akan buat Lo merasa sendiri, Tar. Kita jalanin bareng-bareng.  " Setidaknya Rama tahu apa yang harus ia lakukan untuk membuat dirinya tidak terbawa emosi karena masalah yang sedang dialami Tara, Rama juga ikut serta di dalamnya. Ia tahu, siapa Eza, walau tidak sepenuhnya, tapi Rama mengerti bagaimana pria itu menginterupsi apa yang diinginkannya harus sesuai dengan rencana yang telah disiapkan.

👟👟👟

Nah segini dulu ya, terima kasih sudah berkunjung. 🤗 Salam sayang GanThala🤗

 🤗 Salam sayang GanThala🤗

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Publish, 1 Oktober 2021

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Publish, 1 Oktober 2021

Replay ✅Where stories live. Discover now