04. Bang Benjamin.

3.8K 538 27
                                    

Haidar mengusap perut, dia menghela nafas. "Haaahhh lega." ucapnya sambil berjalan ke arah wastafel.

Haidar membuka keran, membersihkan tangan dibawah guyuran air. Berjarak beberapa detik setelah ia menutup keran tadi, suara pintu dari salah satu bilik toilet terbuka. Menampakkan soson Rian yang masih terlihat rapi, minus rambut yang sudah turun menutupi dahi.

Haidar diam, dia merasa seperti membatu tapi sesuatu di dalam dadanya berdetak senang. Mata terkunci memperhatikan Rian yang mendekat ke wastafel, mencuci tangan disana.

Rian yang sadar dengan tatapan adik kelasnya itu tersenyum, "hai, Dek."

Haidar gelagapan tapi tetap mengangguk, memutar pandangan ke arah lain. "Halo juga, Bang."

Haidar diam-diam menghela nafas lega, dia bersyukur karena tidak gagap menjawab sapaan Rian. Kakak kelas tampan itu mengusap rambut dengan sisa-sisa air yang ada di tangan. Menyisirnya ke belakang supaya tidak menutupi jidat.

"Nanti ada pelajaran akuntansi, gurunya ga suka sama rambut yang berantakan." Rian berucap tanpa menunggu Haidar melontarkan pertanyaan. Pasalnya adik kelas itu terus saja melihat gerak-gerik Rian.

Haidar tersentak. Dia menghidupkan keran lagi, mencuci tangan yang dari tadi sudah bersih. Rian tersenyum melihat tingkah aneh adik kelasnya.

Tidak berapa lama kemudian, satu bilik kembali terbuka. Menampilkan Benjamin yang terlihat lesu sambil mengusap perut. Rian segera memutar tubuh, bergeser untuk memberi ruang pada Jamin yang hendak mencuci tangan.

Benjamin kini berdiri diantara Haidar dan Rian. Dia menyerongkan badan menghadap teman sekelasnya, lalu mengeluh, "mules banget, Yan. Padahal semalam gua ga makan pedes."

Rian menjulurkan tangan ke arah dahi Jamin, mengusap poni pemuda itu untuk menyingkir lalu mengecek suhu tubuhnya. "Ga demam juga. Tadi pagi minum kopi?"

Jamin menggeleng. Dia membuka keran, lalu mencuci tangannya sebentar. Tangan Rian sudah turun dari dahinya sejak tadi.

"Mau pulang? Gua anterin kalau takut."

Jamin menggeleng lagi. "Ga usah, masih bisa ditahan." Dia mengulurkan tangan yang basah ke arah Rian, meminta sapu tangan.

Rian yang sudah hapal dengan kebiasaan temannya itu langsung mengeluarkan sapu tangan dari saku, lalu membantu Jamin mengeringkan tangan.

Haidar merasa bodoh. Harusnya setelah Bang Jamin keluar dari wc tadi, dia langsung keluar toilet terus kembali ke kelas. Tapi kenapa malah diam termenung memperhatikan interaksi dua kakak kelasnya itu.

"Gua antar ke UKS aja kalau gitu."

"Ngapain?" Jamin mengerutkan dahi, tidak setuju dengan pernyataan pemuda yang lebih tua beberapa bulan.

"Minta obat diare."

Selanjutnya Rian mendekat pada Benjamin, tangan menghidupkan keran untuk mencuci sapu tangan yang tadi. Jamin terlihat tidak terganggu, dia diam di tempat walaupun leher Rian tepat berada di depan hidungnya.

"Rasanya gua ga perlu obat deh." ucap Benjamin setelah Rian selesai memeras sapu tangan tadi.

"Kalau kata gua perlu." Rian mengibaskan sapu tangan yang masih setengah basah ke arah lantai, lalu menarik tangan Benjamin untuk keluar dari toilet. Meninggalkan Haidar yang sejak tadi masih setia di depan wastafel.

Jamin merengek menahan langkah supaya Rian tidak bisa menariknya, tapi apalah daya dia sedang sakit sedangkan Rian sehat bugar. "Iyaann, gue aman kok ga perlu ke UKS."

Rian tetap lanjut menyerat Jamin ke arah UKS. Masuk ke ruangan dingin itu, lalu tersenyum ke salah satu siswi yang memakai pakaian serba putih.

"Kenapa, Yan?" tanya siswi itu, dia menoleh sebentar lalu kembali merapikan kertas-kertas yang ada di atas meja.

BANG RIAN [renhyuck]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang