07. Lari Pagi.

3.3K 457 16
                                    

"Bener-bener ya kalian. Mentang-mentang rumah deket, mau marathon ga ngabarin dulu."

Haidar tertawa mendengar protres Farel yang berada di seberang panggilan. Lelaki itu langsung menelpon ke ponsel Hanan setelah tahu dua orang temannya tengah lari pagi. Haidar mencondongkan badan ke arah Hanan, membuat wajahnya muncul setengah di layar.

Terlihat Farel seperti sedang mengganti perban yang menutupi luka di kedua kakinya. "Hadeehhh... ini kapan sembuhnya?" guman Farel sambil mengusap area luka dengan handuk.

"Kapan-kapan." Hanan menjawab. "Siapa suruh sok berani nantangin rombongan kemarin sendirian."

"Heh! Siapa suruh kalian main pergi aja ninggalin gue? Gue jadi nyasar ke lantai atas."

"Alasaaannn."

Haidar sukses membuat Farel melotot, rahang anak itu digerak-gerakan seperti bocah sekolah dasar yang merajuk.

Hanan membalik kamera ponselnya jadi kamera belakang, menunjukkan sekeliling perumahan kepada Farel. Matahari masih belum muncul, tapi langit sudah terang. Sampai kamera handphone Hanan mengarah ke lapangan.

"Nah, disini biasanya sahabat bucin kita merhatiin doi main bola. Parah bat, alasannya main catur sama gue tapi fokusnya ke Bang Rian. Mana heboh sendiri waktu doi giring bola ke gawang."

Hanan menjauh dulu dari Haidar sebelum berbicara, khas seperti orang yang bergunjing. Farel di seberang mengangguk-angguk, matanya disipitkan seolah ikut menghardik Haidar.

Orang yang digibah bisa dengan jelas mendengar percakapan keduanya, karena suara Hanan yang tetap keras. Haidar merotasikan mata.

Farel tertawa melihat ekspresi Haidar yang seperti siap menerjang Hanan dari belakang. "Nan, hati-hati diseruduk banteng. Hahahah."

"Ga bakal. Kalau dia berani nyeruduk gue, tinggal kaduin aja ke Bang Rian." Hanan tertawa saat Haidar menendang bokongnya. "Buset, sakit."

Farel tertawa lagi. "HAHAHAHAH! APA GUE BILANG." Dia batal mengoleskan obat ke luka, karena tubuhnya sudah lebih dulu berbaring di kasur karena sibuk tertawa.

"Lo kalau ngadu aneh-aneh ke Bang Rian, gue rusakin papan catur lo." Haidar mulai berlari lagi setelah aktifitas lari mereka terhenti karena mendapat telpon dari Farel.

"Sabodo, tinggal beli baru." Pemuda tupai mencibir dari belakang.

"Udah, ya. Gue mau bikin sarapan. Sana kalian lanjut lari, tapi jangan sampai lari dari kenyataan. TERUTAMA HAIDAR!" Farel sengaja berteriak di kalimat terakhir.

"BACOT REL!" Haidar balas teriak.

Panggilan pun diputus oleh Farel. Hanan menyusul Haidar untuk berlari. Rute mereka lumayan jauh, karena Hanan yang memilih jalan. Memasuki gang-gang yang nanti akhirnya tetap tembus di tempat start.

Haidar sudah tiga kali berhenti karena merasa betisnya keram, tapi Hanan tetap saja lanjut berlari seolah-olah tenaganya belum berkurang sedikit pun. Mereka masuk ke gang yang berbeda dari sebelumnya.

Haidar melihat ada wanita paruh baya yang duduk di teras salah satu rumah. Cat rumahnya hitam putih, pagar besinya juga dicat hitam. Si wanita seperti memangku selimut abu-abu di paha. Kepalanya sesekali menoleh ke samping, seperti menunggu seseorang datang dari ujung jalan.

Hanan melambatkan langkah jadi berjalan, dia berbisik pada Haidar. "Itu rumah Bang Rian, yang lagi duduk tuh bundanya."

Haidar yang dari tadi sudah berjalan mengangguk paham. Sampai mereka di depan rumah hitam putih itu, Hanan menyapa si wanita.

BANG RIAN [renhyuck]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang