38. Farel Mengamuk.

2.2K 326 39
                                    

"Eh? Mata lo kenapa?"

Rian baru saja menyapa Jeri yang membuka pintu rumah, dibuat kaget dengan penampakan temannya. Jericho terlihat berantakan dengan mata bengkak yang memerah. Hidungnya pun merah seperti baru saja menangis.

Jeri terkekeh, "nggak apa-apa." ucapnya dengan suara parau sembari menerima plastik berisi makanan yang dibawa Rian.

"Ayo masuk."

Rian masuk ke dalam rumah dan membiarkan Jeri menutup pintu. Dia ikuti langkah temannya sampai dipersilahkan duduk. Selanjutnya Jeri izin ke dapur untuk mengambilkan air minum.

Beberapa menit lalu, Rian tiba-tiba merasa perlu menginap di rumah Jeri. Katanya dia mau meminta saran, tapi tidak puas jika hanya lewat telpon.

Lalu yang membuat kesal adalah Rian baru mengabari Jeri setelah berada di depan gang rumah. Itu yang membuat Jeri tidak punya waktu untuk merapikan diri, bahkan sekedar mencuci muka.

Orang tua Jeri juga belum pulang, jadi mereka bisa sedikit bebas sampai tengah malam.

Setelah minuman berupa teh dingin yang hambar karena kekurangan gula siap, mereka pindah duduk bersila di depan televisi.

"Jadi, mau minta saran tentang apa?" Jeri duluan yang memulai percakapan.

"Tentang Haidar."

Kedua alis Jeri naik, ia sudah bisa menebak apa yang akan Rian katakan.

"Lo pasti udah tahu, kalau dia suka sama gua."

"Iya, gua tahu, udah lama. Tapi maaf, gua kemarin nggak ngasih tahu lo langsung karena..." Jeri mengalihkan pandang ke arah lain sebelum kembali melihat Rian. "...yah, karena itulah."

"Iya, gua juga nggak mau bahas itu. Gua cuma bingung, menurut lo gimana?"

Jeri menaikan lengannya ke sofa yang ada di belakang mereka. "Gimana yang gimana, nih?"

"Lo mau nyoba pacaran sama dia atau lo cuma bingung gimana ngeresponnya?" Jeri melanjutkan.

Rian diam sebentar, "gua bingung gimana cara ngeresponnya."

"Hahaha, yang bener? Lo nggak ada gitu dikit aja tertarik sama Haidar? Doi cakep loh, banget. Dia juga baik, nggak banyak tingkah. Cocok sama lo, Yan." Jeri menepuk pundak Rian di kalimat terakhirnya.

Tapi itu malah membuat empunya bingung. "Iya, cocok sih cocok. Tapi tetep aja, perasaan nggak bisa dipaksa."

Jeri berdecak, "ck, halah! Kalau emang nggak ada rasa, lo nggak bingung sampe jauh-jauh dateng ke rumah gua. Mana bonus bawa makanan buat bonyok gua lagi. Gua yakin, lo suka sama Haidar."

Rian hampir bersuara jika Jeri tidak langsung memotong.

"Begini, Yan. Kita mungkin temenannya nggak lama, tapi gua udah paham banget sama sifat lo. Lo tuh, suka ngeliat orang sebagai keluarga. Ngemanjain semua orang sesuka lo sampai lo sendiri nggak sadar, siapa yang emang bener-bener lo sayang dengan siapa yang lo manjain karena hobi."

Jeri menjeda kalimatnya guna melihat reaksi Rian. Anak itu tidak terlihat akan protes, jadi dia lanjut bicara.

"Terus lo kalau suka sama orang, pasti sadarnya belakangan banget. Lo suka denial kaya 'dia adek gua' atau 'dia udah kaya saudara gua sendiri'. Dikurang-kurangin dah, sebelum lo nyesel sendiri."

"Tapi gua nggak yakin—"

"Lo denial. Ditambah lo jadi punya trust issue gara-gara Hera, kan?"

Rian terdiam. Apa yang Jeri katakan benar adanya. Dia juga tidak mau terlihat seperti orang bodoh untuk kedua kalinya. Pernah menjalin hubungan dengan Hera saja sudah cukup mengesalkan untuk Rian.

BANG RIAN [renhyuck]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang