11. Lagu Sedih.

2.7K 429 7
                                    

Luka di perut Benjamin mulai kering. Dia sudah bisa duduk, berdiri, hingga berjalan tanpa bantuan orang lain. Walau terkadang saat bernafas rasa nyerinya masih ada, tapi masih jauh lebih baik daripada beberapa hari lalu.

Kemarin dia iseng mengerjai Rian, berkata bahwa lelaki itu termasuk Jericho dilarang datang jika tidak membawa buah tangan.

Jamin sudah hapal, Rian itu tipe orang yang susah diajak bercanda. Bukan karena selera humor yang tinggi, tapi karena dia tidak bisa membedakan orang yang bercanda dengan yang serius.

Hari ini Sabtu, tepatnya pukul empat sore. Dua laki-laki yang wajah bahkan suara langkah kakinya sudah sangat Jamin hapal berdiri di depan pintu kamar. Membawa dua kantong plastik besar yang berisi buah-buahan. Jamin tertawa keras sampai perutnya terasa tegang dan nyeri.

Jamin masih tertawa walaupun kini Jericho duduk di samping kasur dengan wajah masam. "Hahahaha kenapa beneran bawa buah?"

"Ya lo tahu sendiri si Rian orangnya gimana." Jawab Jeri sambil menyusun beberapa buah di atas nakas. "Lo makan segini aja, sisanya buat gue." Dia menyimpan buah yang masih berada di dalam plastik ke bawah meja belajar Jamin, lalu duduk lagi di tepi kasur.

Kaki Jamin segera mendarat di rusuk Jeri, lalu mencuil daerah sana dengan ibu jarinya. "Enak aja."

Jeri mendorong kaki tersebut, menahannya di atas kasur sebab merasa geli. Namun karena gerak tangannya lambat, Jamin lebih dulu menendang jidat Jeri sehingga tulang kering pemuda yang berbaring berbenturan dengan dahi jeri.

"Akh! Sakit bodoh."

Plak.

Jeri langsung memukul paha Jamin, membuat sang empu meringis. Jamin hendak membalas tapi luka di perutnya terasa nyeri, membuat pemuda itu mau tidak mau kembali bersandar di headboard kasur.

Jeri mengeluarkan satu bungkus makanan yang nampak berbeda dari buah pemberian Rian. Omong-omong soal Rian, dia sedang sibuk memetik gitar sambil bersenandung lagu sedih di sisi lain kamar.

"Ini lo makan pas malem aja. Buat cemilan waktu ngalong." Jeri letakkan beberapa bungkus roti tadi di atas meja belajar Jamin.

"Gue lagi sakit, bego. Mana bisa ngalong."

Jeri kembali duduk di tepi kasur Jamin, menatap sahabatnya sambil terkekeh. "Yang sakit kan perut, bukan mata." Tangan Jeri meraih satu apel dan pisau buah, lalu mengupasnya.

"Iya sih, bukan mata." Jamin menyamankan posisi bersandarnya sambil sesekali menggeser bantal yang menjadi sandaran.

Rian masih asik memainkan gitar. Sesekali dia mengganti lagu dan melihat ke arah ponsel. Entah apa yang dia lihat, tapi Jamin yakin itu hanya laman Google yang menunjukkan kunci gitar dari lagu yang ia mainkan.

Jeri memberikan sekitar tiga potong apel pada Jamin, lalu memakan sisa apel yang belum dipotong. Jamin melihat bergantian antara apel yang dimakan Jeri dengan apel yang di tangannya, lalu menendang bokong Jeri.

"Ga ikhlas lo, ah! Rian, temen lo ngambil buah gue."

Jeri yang tersungkur di lantai kamar tertawa. Dia bergerak untuk kembali duduk di kasur Jamin, namun mengambil jarak yang agak jauh. Rian yang mendengar pengaduan temannya hanya mengangguk sambil terus memetik gitar.

Jeri melihat Rian sekilas, lalu kembali mengalihkan mata ke arah Jamin. "Percuma lo ngadu ke dia. Si Rian raganya doang yang ada disini, jiwanya lagi jalan-jalan nyariin Hera."

Rian berhenti memetik gitar. Dia melihat ke arah Jeri yang kembali memakan apel. Helaan nafas terdengar dari Rian, lalu matanya menatap dinding kamar untuk melamun. Jamin ikut menyuapi apel yang berada di tangannya.

Sekitar beberapa menit kamar Jamin sunyi. Sampai Jeri beranjak dari kasur untuk mengambil satu buah pisang yang ada di atas nakas. Itu membuat Jamin melotot sambil mengeluarkan protes.

"Terus gue nanti makan apa?" katanya.

Jeri tertawa lagi. "Kan ada roti. Lagian cuman satu anjir, pelit banget."

Jamin bergerak ke tepi kasur, hendak memberi tendangan lagi pada Jeri. Namun suara gitar yang dimainkan oleh Rian membuat niatnya urung. Pemuda yang sejak tadi galau itu membanting gitarnya ke samping. Menghasilkan suara nyaring dari benturan badan gitar dan lantai kamar.

Jeri maupun Jamin langsung diam. Mereka melirik satu sama lain.

Rian di ujung sana mengusap wajahnya kasar sambil sesekali mengacak rambut bagian atas. Dia hela nafas sebelum beranjak ke kamar mandi yang ada di kamar.

Jamin menyenggol Jeri dengan ujung kakinya, membuat lelaki itu menoleh sambil menunjukkan eye smile. "Kaget ya lo?"

Jamin mengangguk, lalu terkekeh. "Terus gimana? Kasihan Rian."

Jeri memakan gigitan terakhir pisangnya, lalu membuang kulit buah tadi ke dalam kantong plastik. Dia menggeleng untuk merespon pertanyaan Jamin.

"Ga tau, gue ga pernah pacaran. Lo aja yang ngasih saran."

"Yaelah, sama aja. Gue juga ga tau." Jamin hendak lanjut bicara namun pintu kamar mandi lebih dulu terbuka. Menampilkan sosok Rian dengan wajah yang basah sehabis dicuci.

Pemuda itu bergerak ke arah meja belajar Jamin untuk mengambil beberapa lembar tisu dan duduk di atas kursi belajar.

"Yan, lo kalau lagi kesel gitu mending ngomel-ngomel aja. Jangan tiba-tiba ngamuk kaya tadi, bikin kaget."Jeri kembali mengambil satu pisang. Jamin langsung memukul lengan Jeri, membuat sang empu mengerang keras.

Rian menyudahi acara mengeringkan wajah dengan tisu. Dia buang lembaran tisu tadi ke tempat sampah yang ada di sebelah meja belajar. "Gue ga tau mau ngomel gimana, Jer. Rasanya kaya masih mustahil, kaya mimpi."

Jeri menghela nafas. Dia bangkit untuk berjalan ke arah Rian. Tangannya mengusap punggung si teman sambil berkata,

"ingat, semua kesalahan itu bisa dimaafin kecuali perselingkuhan. Hera udah ngekhianatin lo, dia nipu lo, Yan. Padahal menurut gue dia beruntung banget bisa dapetin temen gue yang ini." Jeri memberi tepukan semangat di pundak Rian, senyuman di wajahnya tidak hilang sama sekali.

Rian mengangguk pelan. Sebenarnya tidak terhibur dengan kalimat Jeri barusan. "Iya."

"Daripada meratapi nasib dengan mikir mending begini, mending begitu. Lebih bagus lo fokus melangkah ke depan. Bentar lagi pemilihan ketos waketos sama penerimaan anggota OSIS baru, kan lo dicalonin jadi ketos." Jeri lanjut berucap.

Rian terlihat diam sebentar. Sedangkan Jamin sejak tadi hanya menyimak pembicaraan dua orang disana.

"Rasanya gue udah ga minat. Mau ngundurin diri aja."

"Heh! Jangan dong." Jamin langsung angkat bicara. Dia bahkan menurunkan kedua kaki dari ranjang, guna duduk dan berhadapan dengan Rian. "Jangan ngambil keputusan pas lagi sedih, kata kakak gue ntar hasilnya ga bakal bagus. Gue sama Jeri kan tim sukses lo, Yan."

"Bener kata Jamin. Mending lo refreshing dulu aja, gue bantu deh." Jeri bergerak mundur untuk duduk di sebelah Jamin.

Rian menatap dua temannya, lalu mengangguk. "Ya udah kalau gitu, makasih ya." Selanjutnya berdiri untuk kembali mengambil gitar yang ada di lantai.

To be continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continued.

Halooo.. maaf ya kalau update-nya lama.

BANG RIAN [renhyuck]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang