Ch. 26: Bicara (2)

767 191 84
                                    

Detik-detik ...

“Cantik, ya?” Jisoo nggak bohong karena emang Gawon—adik Taeyong yang sudah lama meninggal itu—cantik banget

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Cantik, ya?” Jisoo nggak bohong karena emang Gawon—adik Taeyong yang sudah lama meninggal itu—cantik banget. Orangnya tinggi, malah kelihatannya lebih tinggi dia daripada Jisoo yang cuma 163-an sementara Gawon kalau Taeyong kira-kira sih tingginya hampir sampai 170-an itu waktu diukur pas kelas dua SMA, saat sosok rupawan yang fotonya selalu jadi wallpaper ponsel Taeyong itu masih hidup. Tubuhnya ramping, wajahnya bersih terawat bak porselen—kakaknya saja walau punya mata panda mengerikan di area kantong matanya, tapi nggak bisa dipungkiri kalau Taeyong sama rupawannya kayak adiknya, Jisoo bisa menebak bahwa orang tua mereka pasti luar biasa—dan Gawon tersenyum manis di foto.

I love her,” lirih Taeyong pelan yang sarat akan rindu begitu besar. Hubungan mereka sebagai adik-kakak sangat rekat walau sering berantem dan saling mengejek, toh hal semacam itu sudah terhitung sebagai privilage adik-kakak, beda lagi sama privilage anak tunggal. Jisoo anak tunggal semata wayang yang belum pernah merasakan rasanya punya adik atau kakak, rasanya disayang saudara, rasanya diejek dan dimarahin saudara, hang out bareng saudara ... pokoknya privilage itu dia nggak pernah merasakan. Tapi meski demikian, Jisoo bisa merasakan seberapa dalam kerinduan Taeyong kepada Gawon.

Dia juga selalu merindukan ayahnya. Mau seberapa buruk perilaku sang ayah di belakangnya yang diam-diam punya keluarga lain itu, Jisoo akan tetap selalu merindukan hadirnya. She hates him after everything he’s done, but she still loves him ... always.

Jisoo mengusap punggungnya berbagi ketegaran bahwa walaupun mereka sama-sama kehilangan orang terdekat yang paling disayangi, mereka harus tetap move on. Beda rasanya move on sama orang yang meninggal dan move on sama orang yang masih hidup. Rindu keberadaannya boleh-boleh saja, tapi jika berharap lebih dari sekadar itu sudahlah berhenti meratapi takdir orang yang sudah ditakdirkan kembali pada Sang Kuasa.

Taeyong lalu melanjutkan lagi ceritanya tentang Gawon, kadang-kadang dia berhenti cerita untuk sekadar menghela napas, membuang wajah saat dirasa ekspresinya terlalu larut pada kesedihan, dan kadang pula dia memejamkan mata, membiarkan duka yang masih berkabung itu setelah dua tahun lewat itu menguasai dirinya, terutama ketika dia setengah hati menceritakan alasan mengapa Gawon meninggal.

Bibir Jisoo mengatup rapat dan segera gadis itu merangkul lengannya. “It's okay. It's not your fault.

Taeyong tak menyahuti. Kepalanya menunduk dalam sembari menatap bisu gambar sang adik di ponselnya. Andaikan malam itu dia tahu kalau Gawon sebenarnya bukan kena demam biasa, melainkan kena demam berdarah, pasti Taeyong akan langsung melarikannya ke rumah sakit dan mengabaikan omelan sang adik yang pada saat itu terus menolak buat ketemu dokter.

Gak usah lebay, Kak. Demam biasa kok.

Andai dia enggak mendengarkan omong kosong Gawon, mungkin gadis remaja itu masih bisa diselamatkan alih-alih mengikuti kemauannya yang mau ke dokter kalau orang tua mereka pulang.

Shameless 2.0 | taesoo [✔]Where stories live. Discover now