Jeda'1 🌵

2.8K 245 24
                                    

Happy Reading🌿

"Untuk apa kamu nangis sendirian di sini? Gak ada gunanya. Dia gak bakal tau sepatah apa kamu saat ini, Mauli!"

Seorang gadis berpasmina hitam tampak geram melihat Mauli yang hanya bisa menelungkupkan wajah di atas meja. Menangis sesenggukan di sana hanya karena seorang pria bernama Amran Bilzamani. Ketua rohis kampus yang juga teman terdekat Mauli.

"Sudah, sebaiknya jangan pernah lagi mencari alasan apapun untuk tetap bisa berhubungan atau terhubung dengan orang yang berkali-kali matahin hati kamu! Meski tanpa sengaja, kamu harus berusaha menghindarinya."

Najma Khadiejah. Nama gadis yang sejak tadi tak terima melihat kondisi sahabatnya yang demikian. Ia sudah berkacak pinggang, melempar pandang ke luar jendela.

"Dia gak akan tahu, sesakit apa hati kamu. Justru kamu yang tahu rasanya. Langkah itu seharusnya dari kamu sendiri, bukan dari dia. Kamu berhak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari dia. Kamu juga berhak mendapatkan seseorang yang bisa menjaga perasaan kamu. Yang memikirkan kebahagiaan kamu."

Dia bergerak mendekati Mauli kembali. Meraih lengan sahabatnya agar mau menunjukkan wajah di hadapannya. Ia menghela nafas perlahan saat mendapati wajah Mauli yang sudah sangat sembab. Raut wajah kesalnya kini berubah menjadi prihatin.

"Sudah! Dia gak pantas kamu tangisi begini. Seseorang yang tidak tahu arti dirimu, gak pantas diperjuangin. Nanti, pasti akan ada seseorang yang mampu melihat permata seperti kamu. Bukan seseorang yang pura-pura tak tahu seperti dia. Cukup, Mauli! Sudahi secepatnya, sebelum kamu benar-benar terpuruk atas perasaan sepihak kamu ini."

Mauli menyeka air matanya. Ia juga menerima tisu yang terulur ke arahnya dari tangan Najma. Najma sendiri tak habis pikir, bagaimana bisa Amran sama sekali tidak peka pada perasaan sahabat dekatnya ini.

Dia tahu Amran, tapi tidak begitu kenal. Amran adalah orang yang selalu membantu Mauli sejak Mauli masuk ke kampus. Bahkan beberapa teman mereka sudah menyimpulkan bahwa ada yang berbeda dari hubungan Mauli dan Amran.

Setahu Najma, Amran adalah seorang hafidz. Pengetahuan agamanya juga cukup luas. Maka dari itu dia banyak menerima konsultasi dari beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang baru belajar memperbaiki diri. Walaupun memang lebih banyak mahasiswi yang mendekatinya. Entah hanya karena modus atau memang karena ingin belajar agama, Najma sendiri tak bisa menyimpulkan.

Namun sejauh ini, dia memang selalu melihat Amran yang tetap menjadikan Mauli sebagai prioritasnya. Karena seringkali Najma melihat Amran menolak ajakan teman-temannya yang lain hanya untuk membantu Mauli menyelesaikan tugas-tugasnya. Hati perempuan mana yang tidak akan salah paham mendapati perlakuan khusus begitu? Jika Najma berada di posisi Mauli pun, pasti akan merasakan hal yang sama sepertinya. Apalagi Amran bukan laki-laki biasa di kampus.

Mauli adalah gadis yang cukup tertutup. Dia hanya bisa bercerita pada Najma yang baru dikenalnya setahun belakangan ini. Tepatnya, sejak Najma pindah jurusan dari Sejarah ke Sastra Indonesia. Itu pun kedekatan mereka terjadi karena Najma yang selalu berusaha untuk selalu ada buat Mauli.

"Dengar, Mauli! Aku bukan mau menjelek-jelekkan Amran, tapi coba kamu pikir! Apa yang membuat kamu bisa suka padanya? Apa karena dia seorang hafidz? Apa karena dia pandai agama? Atau karena kebaikannya?"

"Aku gak tahu."

Mauli menarik wajahnya ke belakang. Ia menghela nafas berat.

"Ya, memang itu alasan yang tepat bagi orang sedang jatuh cinta."

"Aku gak bisa ngomong sekarang, Najma. Aku pingin pulang."

"Baiklah, aku antar!"

"Nggak usah, kamu masih ada kelas setelah ini. Tolong ijinkan aku, ya!" pinta Mauli.

Benar, mereka memang masih ada kelas setelah ini dan Mauli jelas tak kan berani masuk dengan kondisi wajah yang begitu. Apalagi kali ini kelasnya juga bersama dengan Amran. Bukan tidak mungkin nanti Amran akan menanyainya dengan penuh perhatian seperti biasa. Lalu Mauli akan semakin susah lepas dari dia. Mauli membereskan buku-bukunya ke dalam tas, lalu buru-buru keluar dari kelas sebelum yang lain datang.

Lima menit setelah kepergian Mauli, teman-teman Najma pun mulai berdatangan satu persatu. Benar saja, Amran yang masuk bersama Bagas langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pupil matanya tiba-tiba berhenti saat bersitatap dengan Najma.

Sengaja Najma tak membuang muka seperti biasanya tiap kali mereka bersitatap. Hal itu malah membuat Amran sedikit tak nyaman. Netra Najma sama sekali tak melepaskan Amran hingga ia duduk di bangku paling depan. Dia tahu, pasti Amran tengah mencari Mauli.

▨Jeda▨

Mauli menghempas tubuh di atas Kasur. Gadis manis itu melanjutkan tangis yang sejak tadi coba ia tahan. Beragam tanya muncul di kepalanya.

Kenapa dia bisa sangat menyukai Amran? Kenapa dia bisa merasa begitu dispesialkan olehnya? Kenapa dia harus menanyakan hal itu kemarin? Serta pertanyaan-pertanyaan lain yang menyebabkan penyesalan terdalam di hatinya.

Seandainya saja kemarin dia tidak bertanya tentang hal itu, mungkin hubungannya dengan Amran masih baik-baik saja sekarang. Mungkin perasaannya bisa diselamatkan dari rasa insecure dan rasa malu karena tidak sesuai dengan kriteria pemuda itu. Mungkin ia pun juga masih bisa bersikap biasa saja pada Amran.

Kemarin seusai mereka mengerjakan tugas kelompok, Mauli iseng bertanya.

"Jika ada yang menyukai Bang Amran, wanita yang baik, pintar, akhlaknya bagus, tapi dia bukan hafidzah. Apa Bang Amran masih mau mempertimbangkannya?"

Mauli menanyakan hal itu karena Amran sempat membahas kriteria wanita yang ingin dia jadikan istri waktu itu. Yakni hafidzah. Wanita yang minimal sekufu dengannya dalam keilmuan.

"Kalau masih ada yang hafidzah, kenapa harus menerima yang bukan hafidzah?" Dia malah balik bertanya pada Mauli.

"Tapi ...."

"Kecuali, sudah tidak ada satupun lagi hafidzah di dunia ini. Baru aku cari yang baik akhlaknya," jawabnya memotong ucapan Mauli.

Seketika Mauli bungkam. Dia tak berani bertanya lagi, dan seperti kemarin tangis itu pun pecah saat ia kembali ke kamar kosnya. Tanpa Amran ketahui, dia menyimpan lukanya sendiri. Hari ini juga begitu. Dia masih tak berani bertatap muka lagi dengan Amran. Bukan karena Amran sudah mengetahui perasaannya, melainkan karena dia tahu, bahwa bukan wanita seperti dia yang menjadi kriteria Amran.


TBC

Ntar di next kalo rame 😎

Lanjut ga nih?

Ayo kita repost satu satu 🙆

Jeda༊*·˚Where stories live. Discover now