Jeda'30🌵

360 70 31
                                    

Happy Reading 🌱

Eyang Gus Fahrul sudah istirahat di kamarnya. Gus Fahrul sendiri tengah menunaikan sholat hajatnya di musholla. Sementara Gus Amran memilih untuk menyelesaikan bacaan rotibul haddadnya di halaman depan sambil menikmati keindahan warna dari belasan ekor ikan mas di sana.

Ia masih ingat betul, taman itu menjadi tempat favorit mereka bertiga saat kecil. Biasanya Ning Najma kecil paling suka berdiri di depan kolam ikan itu kalau sudah ngambek. Sedang Gus Amran akan menjadi tahanan tanpa borgol yang harus ikut berdiri di samping gadis itu hingga ngambeknya usai. Terlepas dari siapa yang berbuat salah, memang hanya Gus Amran yang bisa menenangkannya dulu.

Ning Najma menahan langkahnya yang hendak keluar saat melihat Amran duduk di tempat favoritnya. Rambut laki-laki itu nampak menjuntai menutupi sebagian keningnya. Lengan bajunya dilipat hingga tiga perempat. Jempolnya fokus men-scroll layar ponselnya karena memang tengah membaca rotib dari ponsel itu.

Jika ingat bagaimana sikapnya selama ini pada Gus Amran, ingin rasanya ia pindah kampus saja. Namun jika ingat bagaimana cerita Mauli tentangnya, seketika itu juga seperti ada yang mengepul dari telinganya. Lalu sekarang dia harus memanggil kakak pada orang yang selama ini tidak disukainya itu? rasanya tidak mungkin bisa.

Kenangan bersama Gus Amran samar teringat. Mungkin karena saat itu dia masih terlalu kecil. Beberapa lembar foto di album milik sang Eyang cukup memberinya informasi, bahwa mereka berdua memang terlihat sangat dekat saat itu.

Desir angin malam tak hanya menyapa anak rambut Gus Amran yang hitam, tapi juga membelai lembut wajah cantik milik Ning Najma yang berdiri di bingkai pintu. Dua anak manusia tengah saling menatap tanpa diketahui. Ning Najma menatap dari tempatnya berdiri, sedang Gus Amran menatap pantulan bayangan Ning Najma dari layar ponselnya.

Ada rasa hangat yang menjalar di hati pria itu. Namun ia tak berani mendongakkan wajah untuk sekadar menyapa gadis berabaya itu. Sedekat apapun mereka dahulu, nyatanya bisa berubah setelah mereka dewasa. Rasa canggung yang semula tidak ada, kini tiba-tiba menyeruak. Bahkan hanya sekedar melontarkan tanya ada apa saja, rasanya membeku.

Ning Najma menarik langkah mundur dari tempatnya perlahan. Kaki yang ditutupi kaos itu nampak sedikit berjinjit. Berusaha agar langkahnya tak terdengar oleh pria yang masih terlihat fokus pada ponselnya. Padahal dia seharusnya sadar, bahwa kaki tanpa alas itu tentu takkan mengeluarkan bunyi sedikitpun di atas lantai.

Gus Amran menarik sudut bibirnya melihat tingkah Ning Najma. Ia pun baru berani mendongakkan wajah saat Ning Najma terlihat berbalik badan membelakanginya. Jempolnya lantas berselancar di aplikasi hijau. Mencari sebuah nomor di grup tugas sastranya. Setelah menemukan nomor itu, ia lantas mengubah nama dari kontaknya menjadi Adik Kecil.

Jeda༊*·˚

"Sebaiknya ikut Kak Arulmu ke ndalem Kyai Azmi, baru setelah itu pulang ke asrama."

Eyang Kakungnya mengusulkan saat sarapan pagi ini. Ning Najma yang masih terlihat tak nyaman semeja dengan Gus Amran langsung melempar pandang ke arah Gus Fahrul yang kini duduk di depannya. Berdampingan dengan Gus Amran.

"Nana, Yang?" tanya Ning Najma memastikan ucapan Eyangnya tadi adalah untuk dirinya.

"Iya, katanya kemarin pas Gus Adnan datang, kamu ndak ikut ke sana 'kan? Jadi ikut sekarang aja!"

"Emang Kak Arul juga nggak ke sana?"

Gus Fahrul yang merasa mendapat pertanyaan lantas menjawab, "Sudah. Cuma sekarang mau nganter Kak Aam kamu nih." Lengannya sedikit menyenggol Amran di sampingnya.

Ning Najma memejamkan matanya sembari menunduk. Ingin rasanya ia menghela nafas dan mengajukan keberatannya, tapi itu pasti sangat tidak sopan. Selain karena dia masih tidak ingin bersama dengan Gus Amran, dia juga masih merasa sangat malu pada Gus Adnan. Lagipula, Babah sama Ummahnya sangat tidak suka jika mempunyai anak yang tidak bisa menjaga perasaan orang lain.

Jeda༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang