Jeda'29 🌵

360 60 32
                                    

Happy  Reading 🌱

Ning Najma nampak ragu yang mau ikut berkumpul di ruang tengah. Amran sendiri berniat untuk menemani Gus Fahrul menginap di sana setelah hampir tiga tahun tidak bertemu. Alhasil Ning Najma juga harus berusaha untuk bersikap biasa saja di depan keluarganya.

Tadi selepas sholat maghrib berjamaah, Ning Najma sudah ngacir ke kamarnya. Baru turun lagi setelah adzan isya berkumandang. Lalu kini nggak mungkin jika dia harus kembali mendekam di kamarnya. Apalagi tadi Eyang Utinya sudah mewanti-wanti pada Ning Najma agar turun membantunya membuat kudapan untuk mereka.

"Kok masih di sini? Ayo ke sana, bawa kuenya!" tegur Eyang Utinya yang berjalan melewatinya sambil membawa nampan berisi teh dan kopi ke arah ruang keluarga.

'Tenang Nana! Rasa malu ini bukan aib. Lagipula sudah sifat manusia untuk salah. Bukankah salah menebak orang bukan berarti berbuat salah pada orang tersebut? Jadi tidak perlu minta maaf. Cukup antarkan kue ini, lalu kembali ke kamar,' suara di kepala Ning Najma mencoba menenangkan.

Akhirnya ia pun memantapkan langkah menuju ruang tengah. Membawakan beberapa piring berisi kudapan untuk mereka. Netranya sekilas melirik Amran yang nampak tertawa kecil mendengar cerita Gus Fahrul di Turki. Pria itu malah seperti tak terganggu dengan kehadiran Ning Najma. Matanya sama sekali tak beralih pada gadis yang memakai gamis berwarna cokelat susu itu.

Tingkah konyol Ning Najma mulai lagi. Ia memilih untuk memutar dari samping Gus Fahrul daripada harus meletakkan kudapan di tangannya dari arah yang sama dengan Amran. Untung saja Gus Fahrul peka. Dengan cepat ia meletakkan kudapan itu ke depan Amran dan Eyangnya.

"Mau ke mana?" tanya Eyang Kakungnya saat melihat Ning Najma kembali angkat kaki dari tempat itu.

"Iya, mau ke mana? Di sini dulu! Ini kan sudah lama kita ndak kumpul begini. Jarang-jarang loh Kak Amranmu ini nginep di sini lagi kayak dulu." Eyang Utinya malah ikut menimpali.

Mereka yang pada tahu kalau cucu perempuannya itu punya gengsi yang gede, sama-sama mengulum senyum sambil menunggu jawaban apa yang akan Ning Najma lontarkan kali ini. Tetap menghindar, atau menghadapinya.

"Sini nampannya! Biar ditaruh di sini saja."

Eyang Uti meminta nampan yang masih Ning Najma pegang. Di luar perkiraan, ternyata Ning Najma tidak menghindar. Ia malah terlihat tenang menyerahkan nampannya pada Eyang Uti lalu memilih duduk di sebelah Eyang Kakungnya. Kali ini dia berhadapan langsung dengan Gus Amran.

"Nana beneran baru tahu kalau Kak Amrannya juga sekampus sama Nana?"

Skakmat, kenapa tidak ada basa-basi terlebih dahulu? Eyang Kakungnya malah langsung pada inti pertanyaannya. Ning Najma melirik tajam pada Amran yang hanya melihatnya sekilas sebelum memperlebar senyumnya.

Dih, sok alim banget di sini. Padahal kalau di kampus beda banget, batin Ning Najma.

"Na!" Panggilan Gus Fahrul yang duduk bersebelahan dengan Amran sedikit mengganggunya.

"Emang dia tahu kalau sekampus sama adek dua pupunya?" ketus Ning Najma.

"Kok gitu bicaranya? Anak gadis loh!" Lagi-lagi Ning Najma kena tegur Eyang Uti.

"Nggak tahu." Amran menjawab sambil menggelengkan kepalanya, sementara netranya kembali tertuju pada Ning Najma.

"Tuh, 'kan? Jadi kenapa hanya Nana yang harus jadi tersangka di sini?" Ning Najma membuang muka dari tatapan Amran.

"Nggak ada yang jadiin Nana tersangka, Eyang kan cuma tanya."

Sang Eyang langsung mengelus puncak kepala Ning Najma untuk menenangkan gadis itu. Sedari kecil, selain pada Amran, gadis di sampingnya itu memang paling dekat dengannya. Kalau sudah ngambek, yang bisa mengembalikan moodnya dengan cepat hanya mereka berdua. Namun melihat sikapnya yang berubah pada Amran sekarang, entah apa masih mungkin Amran menjadi salah satu orang yang bisa menenangkannya.

Malam itu Ning Najma hanya menjadi pendengar saja di antara sekian banyak cerita yang dibahas. Sesekali dirinya melirik pada Amran yang malah tampak santai ikut mengobrol. Meski tak banyak dan hanya sekedar menjawab beberapa pertanyaan, tetap saja pria itu terlihat seperti tengah mencari perhatian di antara keluarganya.

Jelas saja Ning Najma baru tahu bahwa Amran adalah kakak dua pupunya yang ternyata ada di salah satu bingkai foto di rumah Eyangnya itu. Sebelum lulus madrasah, Amran sudah diboyong ke Arab oleh kakeknya. Setelah pulang dari Arab, dia hanya sesekali main ke rumah Eyangnya. Itu pun tidak bersamaan dengan acara keluarga Ning Najma karena harus mengikuti acara keluarga dari pihak umminya. Sekarang saja ke situ karena paksaan dari Gus Fahrul.

Jeda༊*·˚

Gus Adnan tersenyum menatap layar ponselnya. Pasalnya Gus Fahrul mengiriminya foto Ning Najma yang malah cemberut saat tahu bahwa Gus Amran yang dia maksud bukanlah dirinya. Senyum itu tertangkap oleh pupil cokelat Umminya yang tengah membuatkan wedang uwuh untuknya.

"Siapa, Le?" tanya Umminya.

"Fahrul, Mi."

"Gus Fahrul?"

"Nggeh."

"Kenapa dengan Gus Fahrul?"

Gus Adnan mendekat pada Umminya lalu menunjukkan gambar yang ada di ponselnya. Umminya mengernyit melihat foto wanita di belakang foto Gus Fahrul.

"Yang bikin kamu ketawa foto yang mana?" Umminya masih berusaha menyelidik.

"Foto gadis di belakangnya." Gus Adnan kembali mengurai senyum.

"Hmm?"

"Itu Nana, Mi. Najma adik Fahrul."

"Iya udah tahu." Sang Ummi menarik tangan Adnan dan kembali memperhatikan foto di ponsel itu.

"Pantes bikin kamu senyum-senyum, hmm ...."

"Ah, Ummi ada-ada saja! Bukan itu yang bikin Adnan senyum."

"Terus?"

"Tapi cerita yang ada di balik foto itu."

"Cerita apa emang?" Sang Ummi masih terlihat ingin tahu.

"Kemarin waktu Adnan ikut Fahrul ke kampus Amran, Ning Najma salah ngira kalau Adnan adalah Amran. Nah, hari ini Fahrul sama Amran lagi main ke rumah Eyangnya. Kebetulan Najma juga pulang ke sana. Akhirnya kesalah pahaman Najma mengenai Amran ya ketahuan deh."

Umminya tertawa lirih mendengar cerita Adnan. "Wah, pasti Ning Nana malu banget itu."

Gus Adnan menganggukkan kepala sambil ikut tertawa.

"Nih, minum dulu! mumpung masih hangat." Umminya menyodorkan wedang uwuh yang sudah ia buat.

Tanpa banyak alasan, Gus Adnan langsung menyeruput minuman itu.

"Kamu ... suka sama Ning Nana?"

"Uhuk huk ..." Wedang uwuh di mulut Gus Adnan menyembur keluar.

Wanita berkerudung putih itu tersenyum sembari menepuk-nepuk punggung putra semata wayangnya. "Ummi cuma nanya loh," godanya kemudian.

Tebece

Gimana part ini? Haha

Seperti biasa, next part 100 vote dan 30 komen dlu ya.

See you at next part 💚

Jeda༊*·˚Where stories live. Discover now