Jeda'35 🌵

520 69 34
                                    

Happy Reading 🌱

Sepertinya udara pagi di pesantren adalah udara terbersih kedua setelah di pegunungan. Nyaris tanpa polusi karena jauh dari keramaian pengendara jalan. Halaman parkir untuk para umana' berada jauh dari kompleks pengasramaan santri.

Ning Najma menyibak tirai jendela di dalam kamarnya. Tirai yang menutupi jendela pembatas antara kamarnya dengan taman samping rumahnya. Bu Nyai Ana meletakkan kamar anak gadisnya itu berhadapan dengan ruang baca sang Babah jika dari taman samping. Karena biasanya dulu Kyai Fahmi suka memperhatikan anak-anak mereka bermain di taman sambil menghabiskan waktu di ruang bacanya.

Dulu di taman itu ada sebuah bandulan yang paling sering digunakan oleh Ummahnya dan Mbahtinya menderas Alquran. Taman itu juga menjadi taman bermain bagi Ning Najma dan Gus Fahrul saat mereka kecil, karena di taman itu pula terdapat kolam ikan koi berukuran 1 x 2 meter persegi menempel di sisi gedung pembatas rumah mereka. Seiring berjalannya waktu, bandulan itu pun ikut tergerus oleh keadaan hingga akhirnya harus diloakkan lima tahun yang lalu. Diganti oleh dua bangku memanjang yang di taruh beriringan di sisi kolam.

Baru saja Ning Najma selesai menyibak tirai jendelanya, terdengar gelak tawa dari tiga pemuda yang kini masuk ke taman itu. Salah satunya bahkan langsung mengambil tempat makan ikan yang diletakkan tepat di sisi kanan kolam. Pria berkaca mata itu mulai menebar segenggam pakan ikan dari tangannya.

Ekor mata Ning Najma beralih pada pria berkemeja navy yang kemarin sempat ia injak kakinya. Gadis itu menghela nafas berat sembari melangkah gontai ke sisi tempat tidurnya. Kepalanya sibuk mencari solusi bagaimana cara meminta maaf pada dua pria itu, apalagi pada pria yang berkaca mata. Karena selain permintaan maaf, dia pun juga harus berterima kasih atas bantuan pria itu kemarin saat alerginya kambuh.

***

"Oya, Amran katanya mau ikutan buka bisnis resto ya di Surabaya?" tanya Kyai Fahmi saat mereka sarapan pagi ini.

Semua mata beralih pada Gus Adnan yang juga sempat terkejut mendapat pertanyaan itu. Dari mana Kyai Fahmi tahu tentang usaha yang tengah dia persiapkan itu?

"Abimu yang bercerita kemarin."

Bibir Gus Amran tersenyum setelah sebelumnya membulat.

"Sebenarnya bukan resto juga sih, Paman. Bikin lesehan saja yang bisa mangkal tiap malam gitu. Tempatnya juga nggak paten, bisa pindah-pindah gitu."

"Emh, kenapa nggak bikin resto kayak punya Abi kamu?"

"Karena target pasa Amran menengah ke bawah sih."

"Resto Abimu juga targetnya menengah ke bawah 'kan?"

"Tapi untuk konsepnya masih menengah ke atas, Paman. Kadang kalau seperti bapak-bapak yang kelelahan karena habis narik atau jualan, sungkan yang mau masuk katanya. Karena mikirnya tempat kayak gitu harganya pasti kurang bersahabat sama kantong mereka. Makanya Amran bikinnya semi angkringan gitu."

"Kalau gitu jualannya nggak tiap hari?" tanya Bu Nyai Ana.

"Nggak tiap hari, Bi, tapi tiap malem insyaallah, hehe."

"Nggak capek ta, Le? Pagi kuliah, malemnya di lesehan?"

"Emh, kalau itu insyaallah enggak. Daripada di kontrakan malemnya juga bengong, mending sambil buka lesehan. Sekaligus mewadahi teman-teman mahasiswa yang suka nongkrong. Amran juga bentar lagi sudah semester akhir, jadi sudah nggak banyak jam kuliah lagi insyaallah."

"Kalau yang begitu bukannya rawan sama satpol PP ya, Bah?" tanya Bu Nyai Ana pada suaminya.

"Insyaallah aman, Bi. Kan nanti cari tempatnya yang sudah legal, kayak di alun-alun atau di acara-acara besar pesantren."

Jeda༊*·˚Where stories live. Discover now