Jeda'24🌵

766 178 25
                                    

Happy Reading 🌧

Ana tersenyum lebar saat turun dari mobil, begitu juga dengan Kyai Fahmi. Sementara Gus Fahrul membantu menurunkan oleh-oleh dari bagasi mobil. Mereka benar-benar berangkat setelah subuh. Ana bahkan ingin sekalian sarapan di sana dengan nasi bungkus kesukaan Ana dan Lina yang sudah dia pesan sehari sebelumnya.

Dhalem yang ditempati Kyai Fahmi tidak banyak berubah. Hanya ada penambahan beberapa ruangan di samping taman yang biasa Kyai Kholil gunakan untuk murajaah. Ruangan-ruangan itu dijadikan perpus sekaligus tempat untuk mengkaji kitab oleh Kyai Azmi.

Lina yang masih menggunakan mukena karena baru selesai sholat dhuha segera menyambut mereka dengan senyum lebar. Mempersilahkan masuk lalu meminta salah satu khadamah untuk membuatkan mereka minum. Lina juga meminta ijin untuk berganti baju sebentar dan masuk ke dalam kamarnya.

Gus Fahrul mengecek ponselnya. Lalu menunjukkannya pada sang Babah. Kyai Fahmi mengernyit, lalu meletakkan telunjuk ke bibirnya. Memberi kode agar sang ummi yang terlihat sibuk mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan itu tidak sampai tahu.

Kyai Azmi datang mengucap salam. Ia baru saja selesai berkeliling pesantren untuk mengecek kebersihan serta kegiatan rutin asrama. Seperti yang biasa Kyai Fahmi lakukan juga di Pesantren Al-Furqan.

Sebentar kemudian, ada lelaki muda ikut masuk menyusul dengan salam. Dialah Gus Adnan. Pria dengan senyum indah itu beringsut, mendekat pada Kyai Fahmi lalu mencium tangannya. Begitu juga pada Gus Fahrul yang dengan cepat ditepis olehnya. Sedang pada Ana, tangannya dengan sopan memberi salam di depan dadanya sembari mengangguk ramah. Walau bagaimanapun mereka memang tidak boleh bersentuhan.

"Masyaallah, akhirnya pulang juga kamu, Nan!" Kyai Fahmi menepuk lengan Gus Adnan yang duduk di sampingnya.

"Alhamdulillah, Kyai. Hehe ...."

"Lah, kok malah kyai, toh? Paman! Jangan diubah-ubah panggilan itu, nggak baik."

Tawa kecil terdengar di ruangan itu. Menarik perhatian Lina yang baru keluar dari kamar.

"Alhamdulillah, maafkan! Ini kami datang terlalu pagi, ya?"

"Loh, enggak, An. Aku malah seneng kamu bisa datang sepagi ini. Kita bisa sarapan bersama kalau gitu."

"Itu juga yang aku maksudkan."

Mereka kembali tertawa kecil. Terasa sekali kebahagiaan di ruangan itu. Beberapa candaan juga kerap terlontar. Gus Adnan beberapa kali menatap wajah sang ibu yang sudah terlihat tidak sepucat kemarin.

"Adnan mau ikut mengabdi di Al-Fuqan?" tawar Kyai Fahmi setelah Lina dan Ana pamit untuk mempersiapkan sarapan.

Gus Adnan menoleh pada sang abah.

"Oh, masih perlu ijin dari abah?" Kyai Fahmi kini menggoda Kyai Azmi.

"Hahaha, terserah Adnan lah. Akunya malah seneng kalau ilmu yang dia dapat bisa bermanfaat untuk lebih banyak orang lagi."

"Nah, sudah dapat ijin itu, Nan."

"Saya akan sangat senang jika saya juga bisa dibutuhkan di sana, Paman."

"Pasti sangat dibutuhkan. Apalagi Arul orangnya kurang bisa sharing dengan banyak orang yang belum dia kenal. Kalau sama kamu, insyaallah makin enak nanti."

Meski Kyai Azmi lebih tua dari Kyai Fahmi, tapi Kyai Fahmi adalah putra dari kakak sang abah. Pesantren yang dipegang Kyai Fahmi adalah pesantren pertama yang didirikan oleh mbah uyutnya. Baru kemudian Pesantren Nurul Quran dibangun dengan tujuan lebih mengkhususkan pembelajaran dan hafalan Alquran di dalamnya.

Abah Kyai Azmi─Kyai Kholil adalah adik dari abah Kyai Fahmi yang bernama Kyai Jakfar. Meski Kyai Jakfar menikah lebih dulu dibandingkan Kyai Kholil, Allah justru mempercayakan buah hati pada Kyai Kholil lebih awal. Dua tahun setelah itu barulah Kyai Fahmi terlahir. Dua tahun berikutnya, Ning Aisy yang tak lain adalah adik dari Kyai Azmi juga hadir ke dunia.

Jeda༊*·˚Where stories live. Discover now