Jeda'33🌵

485 65 38
                                    

Happy Reading 🌱

Selepas sholat maghrib seperti biasa, Ning Najma biasanya ikut menemani Ummahnya mengontrol kegiatan tilawatil quran di tiap asrama sambil menunggu isya. Semenjak tampuk amanah di pesantren putri beralih pada Bu Nyai Ana, kegiatan asrama banyak yang ditambah.

Jika dulu sehabis maghrib pengurus kamar hanya menerima setoran bacaan Alquran dari teman-teman sekamarnya, dan yang berhalangan bisa ada waktu untuk berleye-leye, sekarang tidak lagi. Kini yang sedang berhalangan pun wajib untuk menyetorkan mufrodat pada pengurus kamar. Baru sehabis subuh, gantian para pengurus kamar juga harus menyetorkan bacaan Alquran atau mufrodat pada Bu Nyai Ana. Bahkan Ning Najma dulu juga diwajibkan untuk ikut kegiatan itu meski langsung di bawah pengawasan Ummahnya sendiri.

Para santri tidak terlihat takut saat Nyai Ana datang mengontrol, mereka justru terlihat tambah bersemangat. Karena memang sejak dulu Bu Nyainya itu terkenal dengan sikapnya yang humble dan bersahabat. Sebagian santri senior yang tahu kisah tentang Kyai dan Bu Nyainya itu bahkan ada yang menjulukinya Bu Nyai Cinderella. Hanya karena Bu Nyai Ana yang dulunya santri biasa seperti mereka akhirnya diperistri oleh putra tunggal Yai sepuh, yakni Kyai Fahmi. Siapa yang tidak ingin menjadi sepertinya? Hampir semua santri bahkan bermimpi untuk mendapat keberuntungan seperti itu.

Makan malam di keluarga Kyai Fahmi biasanya selepas sholat isya, asal tidak berbenturan dengan undangan dari luar. Kali ini Bu Nyai Ana sendiri yang menyiapkan hidangan di atas meja makan. Beberapa lauk dari Bu Nyai Lina ikut nangkring di sana.

Sejak tadi Ning Najma sudah merayu sang Ummah agar diperbolehkan untuk tidak ikut makan malam bersama. Karena malam ini mereka juga menjamu Gus Amran dan Gus Adnan yang ternyata malah ikut menginap malam itu. Namun Bu Nyai Ana mempertegas bahwa sang Babah pasti tidak akan suka jika Ning Najma bersikap seperti itu. Itu namanya tidak menghargai tamu.

"Salam buat Ummimu ya, Le! Terima kasih atas lauknya," ucap Bu Nyai Ana pada Gus Adnan saat makan malam.

Gus Adnan meletakkan sendoknya, "Nggeh, Bi. Nanti Adnan sampaikan," jawabnya sembari mengangguk dan tersenyum.

"Amran mau yang mana? Ayo jangan malu-malu, tinggal dipilih saja!"

"Sampun, Bi! Ini sudah pas, hehe ...."

Semua orang melihat ke arah piring Gus Amran yang berisi sayur daun kelor, bakwan jagung, serta sedikit sambal korek di sisi piringnya.

"Loh ndak mau lauk ta?" tanya Bu Nyai Ana heran melihat keponakannya itu hanya menggunakan bakwan jagung sebagai lauknya. Padahal di sana ada banyak lauk yang tersedia, pepes ikan, dendeng sapi, sama ayam kecap.

"Begini saja sudah enak, Bi," ujarnya.

Gus Fahrul yang mengerti bahwa sudah menjadi kebiasaan Gus Amran yang hanya akan memakan apa yang ada di depannya, langsung bangkit dan mengambilkan satu potong ayam kecap yang ada di depan Ning Najma.

"Amran hanya mau makan yang ada di depannya, Ummah. Kalau nggak di deketin gini, dia nggak bakal ambil, manja!" ledek Gus Fahrul.

"Masyaallah ...!" Kyai Fahmi dan Bu Nyai Ana memuji bersamaan.

"Itu bukan manja, tapi memang seharusnya begitu, karena itu sunnah nabi. Makanlah yang ada di dekatmu." Bu Nyai Ana meluruskan.

"Hehe, iya, Ummah, bercanda."

Bu Nyai Ana menoleh pada bungsunya yang kali ini nampak jadi orang pendiam. Piring gadis di sampingnya ini masih bersih tanpa lauk.

"Nana puasa?" goda Bu Nyai Ana.

"Ha?" Kyai Fahmi dan tiga pria lainnya melongo mendengar pertanyaan Bu Nyai Ana. Sedang Ning Najma terlihat salah tingkah.

"Hahaha, bercanda. Habis mulai tadi diem aja loh."

"Ah ... Ummah ..., ada-ada saja!" Kyai Fahmi ikut tertawa.

"Kalian harus coba sate merpati nanti, pasti ketagihan." Bu Nyai Ana mulai mempromosikan makanan kesukaannya sambil mengambilkan bakwan jagung dan ayam kecap untuk Ning Najma.

"Masyaallah, Abi juga pernah bilang begitu, Bi. Tapi belum pernah ngasih tahu Adnan sampai sekarang. Hehe."

"Loh masa?" Bu Nyai Ana sedikit terkejut.

"Ndak papa, besok sama Bibi aja ke sana. Tak kasih tahu warung langganan Bibi yang muantep poll."

"Siap, hehe ...." Gus Amran melirik pada Ning Najma yang berada di samping Ummahnya. Sementara dirinya berada tepat di depan Bu Nyai Ana. Malam ini gadis itu terlihat seperti kemarin saat di rumah eyangnya. Tak banyak bicara. Seolah gadis yang berbeda dengan yang dia temui di kampus. Apa karena dia tak suka pada kenyataan bahwa dirinya adalah saudaranya? Atau ada hal lain yang mengganggu pikiran gadis itu?


Jeda༊*·˚

Mauli mencari sebuah nama di pembaharuan status aplikasi hijaunya. Benar saja ada dua buah story terbaru dari nama pria yang dicarinya. Dengan berdebar dia mencoba untuk menengok slide pertama. Sebuah gambar segelas kopi berlatar pantai di belakangnya dengan caption, awal baru menjemput tantangan baru. Slide kedua berisi gambar sebuah makam tanpa caption.

Ingin rasanya ia me-reply gambar itu untuk sekedar bertanya makam siapa itu? Mungkinkah itu makam keluarganya? Atau apa dia tengah berziarah seperti yang biasa dia lakukan? Kalau iya, tengah di mana dia sekarang? Dua hari tidak terlihat di kampus rasanya kurang menyenangkan. Biasanya meski hari minggu atau hari libur, pria itu akan selalu ada di kantor komunitas. Saat itulah, saat terbanyak bagi Mauli untuk menghabiskan waktu bersama dengan pria itu walaupun tidak hanya berdua saja.

Beberapa kali Mauli mengetik lalu menghapusnya lagi. Sebelum dekat dengan Ning Najma, mungkin dia sudah bertanya berkali-kali pada pria itu meski sekedar basa basi. Tapi setelah selalu mendapatkan ultimatum dan ceramah dari sahabatnya itu, perlahan-lahan dia pun bisa menahan diri agar tidak terlalu kepo pada kehidupan pria yang disukainya itu.

Ponselnya bergetar, sedikit mengagetkan gadis manis itu. Hampir saja ia menjatuhkan ponselnya saat membaca nama yang tertera di ponselnya.

"Waalaikumsalam ...," jawabnya.

"Belum," jawabnya lagi.

"Sekarang?" Ia memastikan.

"Bisa, tapi aku nggak bisa lama. Di kosan ada jam malam soalnya."

Mauli mengangguk, sepertinya seseorang di seberang tengah mengajaknya pergi. Benar saja, setelah menutup panggilan, Mauli langsung bersiap-siap memakai sweaternya, serta hijab instan berwarna hitam. Dia tidak membawa tas, hanya ponsel dan satu lembar uang lima puluh ribuan yang terselip di dalam casing handphone-nya.

Tak menunggu lama, sebuah panggilan telpon kembali datang. Mauli pun bergegas keluar dan meminta ijin terlebih dahulu pada ibu kosnya. Seorang pria berjaket jeans yang duduk di atas motor matic melambai di luar pagar. Lekas ia pun menghampiri pria itu dan langsung membonceng di belakangnya.

Tebece



Selamat malam Jum'at, Isro mi'raj juga ya.

Jangan lupa alhkahfi hari ini.

Seperti biasa, next 30 komen 100 vote dlu yaa.

Jeda༊*·˚Where stories live. Discover now