Jeda'19🌵

908 188 21
                                    

Happy Reading 🐤

Najma mengusap-ngusap wajahnya setelah sebelumnya ia memijit pelan pelipisnya. Rasa kantuk yang sejak tadi menyerang memaksanya menguap. Gadis berbulu mata lentik itu pun menautkan jari jemarinya lalu mengangkatnya ke atas kepala. Dia juga menegakkan badan sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Menahan genangan air yang biasanya muncul bersamaan dengan uap kantuk.

Di depannya bertumpuk buku-buku hikayah dan sastra lama. Keinginannya untuk menghasilkan sebuah karya berbentuk tulisan membuatnya betah berlama-lama di perpus. Tiga penjaga perpus sampai hafal dan sangat mengenal kebiaasaan Najma. Tak terkecuali seorang pria berkacamata yang juga sudah sering memperhatikannya dari sudut ruangan. Sedikit tersembunyi karena letak tempat duduknya berada di balik sebuah rak buku kecil tempat majalah.

Salah satu penjaga perpus yang baru saja selesai berkeliling membereskan buku-buku di rak mendekatinya. Di tangannya terdapat dua buku tebal bertuliskan arab. Kalau di pesantren buku berwarna maroon dan navy itu biasa disebut kitab. Kertasnya berwarna kuning khas dengan lafadz arab tanpa harkat yang terdiri dari matan dan syarahnya.

“Mbak Najma, ini yang dicari kemarin.” Pria berkemeja cokelat itu mengulurkan dua kitab di tangannya ke depan Najma.

“Oh sudah dikembalikan, ya, Mas?” Senyum Najma terlihat bersamaan dengan tangannya yang terulur menerima kitab-kitab itu.

“Iya, alhamdulillah.”

“Alhamdulillah, terima kasih, Mas!”

“Sama-sama, Mbak Najma! Mbak Najma ini mau jadi Najma Shihab, ya?”

“Ha? Hahaha, kenapa, Mas?”

“Kalau ke sini sibuknya kelihatan banget.”

“Lah padahal di sini kerjaannya cuma duduk-duduk.”

“Duduk-duduk tapi otaknya diisi terus, hehe.”

“Ah, Mas Pandu bisa aja! Namanya juga mahasiswa. Kerjaannya ya harus belajar.”

“Jangan belajar mulu atuh, Mbak Najma. Cari pasangan juga.”

“Pasangan saya sudah ada.”

“Oya? Wah anak sini juga, Mbak?”

“Dih, Mas Pandu kepo.”

“Ya soalnya nggak pernah lihat Mbak Najma sama anak laki-laki toh.”

“Di sini kan kampus, Mas Pandu, tempatnya orang belajar. Bukan tempatnya orang cari pasangan.”

“Menyelam sambil minum air gitu loh, Mbak. Haha ...!”

Najma ikut tersenyum lebar mendengar ocehan pria yang ditaksir lima tahun lebih tua darinya itu. Kalau urusan mencarikan buku, dia ahlinya. Karena pria bernama lengkap Pandu Anggoro itu juga punya kenalan toko buku bekas terlengkap di Jogja. Dia juga lulusan pesantren Sidogiri yang terkenal dengan kesalafannya. Jadi tak heran jika Najma mencari matan ataupun syarah beberapa kitab, dia bisa mencarikannya dengan cepat.

Seorang pria berkacamata yang sejak tadi memperhatikan mereka beranjak mendekat. Lelaki yang dipanggil Mas Pandu oleh Najma mengalihkan pandang ke belakang Najma. Lebih tepatnya pada pria yang tengah berjalan ke arah mereka.

“Siang, Mas Amran!” sapa Mas Pandu ramah dengan sengiran khasnya.

Najma memutar kepala. Wajah yang semula tersenyum itu mendadak berubah masam. Sepertinya dia harus tahan untuk bertemu dengan pria yang sangat ingin dihindarinya ini.

“Siang, Mas Pandu!” balas Amran tak kalah ramah dengan anggukan kepala.

Keberadaan Amran memang selalu sukses mencuri perhatian. Bahkan di perpus yang seharusnya menjadi tempat tenang, bisa berubah bising dengan bisikan para cewek-cewek yang mengidolakannya.

“Saya permisi dulu, Mbak Najma, Mas Amran!”

Najma dan Amran mengangguk dengan senyum yang sama pada Mas Pandu. Tak menunggu lama, Amran langsung mengulurkan flashdisk ke arah Najma.

“Ada yang salah di slide ketiga, dan ada yang kurang di slide kelima,” ujar Amran saat Najma menerima flashdisk dari tangannya.

“Salahnya di?”

“Sudah aku kasih pembandingnya serta contoh-contoh yang bisa kamu jadikan acuan. Kalau masih kurang, nanti aku kirim lewat WA.”

“Nggak perlu, biar aku cari sendiri!” tolak Najma.

Dia benar-benar tidak ingin lebih jauh berurusan dengan Amran. Apalagi sampai berhubungan lewat chat. Meski yang akan mereka bahas tentang pelajaran. Itu bisa jadi pintu pembuka untuk obrolan-obrolan yang lain nanti.

“Baiklah.” Amran berbalik dan bersiap kembali ke tempat duduknya.

“Makasih!” ucap Najma lirih tapi sangat jelas terdengar oleh Amran. Pria itu mengulas senyum tipis, lalu kembali melanjutkan langkahnya setelah tadi sempat berbalik melihat Najma yang masih memunggunginya.

Jeda༊*·˚



Senyum Lina terurai saat sebuah mobil Pajero Sport berwarna putih masuk ke halaman dhalem. Dia sudah menunggu dengan tak sabar. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki berkoko putih, bersarung putih dan berpeci putih.

Seraut wajah tampan nampak tersenyum lebar saat pintu mobil terbuka. Netranya berkaca-kaca. Rindu yang selama ini ia simpan kini sudah membuncah.

Pria muda berkoko dan bersarung hijau itu turun dari mobil dengan tergesa. Ia ingin segera memeluk wanita yang ucapannya akan selalu menjadi doa untuknya. Satu-satunya wanita yang menjaminkan surga untuknya di telapak kakinya.

“Ummi ...!” lirihnya dengan suara bergetar saat bibir dan hidungnya menyentuh punggung tangan wanita itu.

Akhirnya air matanya tumpah juga saat wanita itu langsung merengkuh tubuhnya. Namanya berulang kali disebut disertai elusan lembut di punggungnya. “Adnan, putraku. Akhirnya kamu pulang, Nak!” suaranya juga bergetar penuh haru.



Jeda༊*·˚



Doni mengetuk pintu kantor KPM lalu mengucap salam saat seraut wajah manis di depan laptop menoleh ke arahnya. Mereka sama-sama melempar senyum.

“Arman ada?” tanya Doni masih tetap berdiri di bingkai pintu.

“Enggak ada. Dari tadi belum lihat.”

“Kamu lagi sibuk?”

“Enggak juga. Kak Doni butuh bantuan aku?”

“Enggak, cuma nyari temen makan aja. Di depan kampus kayaknya ada warung mie baru tuh.”

“Emh ...”

“Mau nggak?”

“Berdua aja?”

“Iya, lah, kalau ada Arman ya bareng dia juga.”

Mauli nampak menimang-nimang.

“Woy!” Seseorang mengagetkan Doni dengan menepuk pundaknya dari belakang.

“Ish, kamu tuh! Yuk, makan!” Doni yang tahu kalau itu Amran langsung mengajaknya.

“Jadi?” tanya Amran, seolah mereka berdua memang sudah janjian.

“Jadi, lah! Ayo! Mauli, Ayo!” ajak Doni.

“Sebentar, aku beresin ini dulu!” Mauli lekas membereskan mejanya.

“Sama Mauli juga?” bisik Amran.

“Iya, tadi aku kadung ngajak dia. Nggak enak kalau dicancel hanya karena kamu udah datang.”

“Justru makin nggak enak kalau kita bareng dia.”

“Ah, cuma makan ini!”

“Kamu nggak inget gimana kejadian kemarin?”

Doni menghela nafas. Ia lantas melongokkan wajahnya kembali ke dalam ruangan.

“Mauli bisa ajak temen kalau mau, biar nggak sendirian.” Alis Doni terangkat saat mengusulkan itu pada Mauli yang baru saja selesai mematikan laptopnya.

Tebece

Yuk, 30 komen langsung next part selanjutnya 💚

Jeda༊*·˚Where stories live. Discover now