jeda 28🌵

379 62 30
                                    

Weh udah tembus target aja nih, next part kalo udah tembus 30 komen sama 100 vote ya.

Happy Reading 🌱

Di halaman depan rumah Eyangnya terparkir dua mobil yang sangat Ning Najma kenal. Satu milik kakaknya, Gus Fahrul. Satu lagi sepertinya milik seseorang yang kurang dia sukai di kampus. Tapi kenapa mobil itu bisa sampai di sana juga? Apa itu hanya mobil yang sama?

Ning Najma memutari mobil Brio berwarna kuning itu. Meski hanya beberapa kali dia melihat mobil itu, tapi dia yakin betul kalau kendaraan beroda empat itu milik pria berkaca mata itu. Kini dia berdiri di depan mobil, menyilangkan lengan di depan dada sambil memperhatikan plat berwarna putih di depannya.

"Ehem ...." Dehaman Eyang Kakungnya sedikit mengagetkan Ning Najma.

"Assalamu'alaikum, Eyang!" Ning Najma menaiki anak tangga teras rumah Eyangnya sambil tersenyum.

"Ada tamu, Yang?" tanyanya sembari mencium tangan Eyangnya.

"Kakakmu."

"Yang itu?" Ning Najma menunjuk mobil yang tadi diperhatikannya.

"Iya, Kakakmu, Gus Amran."

Alis Ning Najma terangkat. Ada yang menggeletar di dadanya. Amran yang mana? Kenapa mobilnya malah mobil Amran kampusnya?

"Terus, ada siapa lagi, Yang?" Dia masih mencoba menyelidik.

"Kak Arulmu."

"Terus?"

Berganti Eyang Kakungnya yang kini mengernyit.

"Masuk aja dulu, nanti tahu siapa aja yang ada di dalam."

Gadis mungil itu berusaha untuk bersikap tenang lalu mengekor di belakang Eyangnya masuk ke dalam rumah. Seperti biasa bola matanya akan menjelajah ke setiap ruangan yang nyaris belasan tahun tidak ada perubahan itu. Mungkin hanya ada penambahan furniture atau beberapa bingkai foto yang direposisi sedikit.

Kali ini netranya menangkap satu jaket berbahan baby terry berwarna army tergeletak di atas sofa. Satu jam tangan swiss army berwarna hitam di atas meja. Serta dua buah ponsel yang salah satunya dia kenali sebagai ponsel kakaknya, Gus Fahrul.

Suara Eyang Utinya mulai terdengar tengah menjelaskan beberapa lauk yang ia masak hari ini. Pupil berwarna cokelat itu kini beralih ke arah kanan ruangan, tepat pada ruang tengah yang juga bersanding dengan ruang makan. Gus Fahrul yang sudah duduk di sisi meja melempar senyum ke arah Ning Najma, sementara pria berkemeja hitam di depannya terlihat anteng dan tak tertarik untuk menoleh meski untuk sekedar menjawab salam dari Ning Najma. Punggung pemuda itu juga terlihat familiar di matanya.

"Eh, sudah dateng cucu Eyang yang cantik. Sini, kebetulan ini pertama kalinya kalian berkumpul lagi 'kan? Eyang sudah masakin lauk kesukaan kamu. Ayam kecap. Sama dengan kesukaan Gus Amran."

Ning Najma meletakkan mini backpacknya di sofa ruang tengah. Eyang Kakungnya juga sudah mengambil tempat duduk di ujung meja, tepat di antara pria itu dan kakaknya.

"Astaghfirullah ...!" Ning Najma begitu terkejut saat matanya bersirobok dengan pria berkacamata di depannya. Pekikan Ning Najma jelas saja menyita perhatian kedua Eyangnya, tapi tidak dengan Gus Fahrul dan pemuda itu. Mereka sudah memperkirakan reaksi Ning Najma pasti akan seperti itu. Sebentar lagi pasti akan ada drama mencak-mencak, protes, atau menuduh yang bukan-bukan seperti dulu.

Telunjuk Ning Najma tertuju pada pria yang kini tersenyum manis padanya sambil menatap bingung pada kedua Eyangnya. Eyang Utinya yang sudah selesai menyiapkan semuanya lantas menarik cucu perempuannya untuk duduk di sebelah Gus Fahrul sembari membalikkan piring untuknya. "Duduk, ayo makan dulu!" ucapnya.

Perkiraan Gus Fahrul dan pemuda itu meleset. Bukan ocehan Ning Najma yang mereka terima, gadis itu malah diam seribu bahasa. Sepanjang obrolan mereka di meja makan, Ning Najma hanya berbicara saat ditanya oleh kedua Eyangnya. Itu pun dengan jawaban pendek atau sekedar mengangguk dan menggeleng. Sementara pertanyaan-pertanyaan Gus Fahrul─kakaknya, seperti menguap begitu saja.

Matanya kini seolah tak berani menatap ke depan. Ia lebih banyak menunduk dan fokus pada apa yang ada di piringnya. Meski lauk yang ada adalah kesukaan Ning Najma, entah kenapa selera makannya tiba-tiba jeblok. Mungkin karena merasa malu, atau malah karena merasa tak suka melihat pria yang semeja dengannya. Hatinya masih menolak untuk mengakui bahwa tebakannya kemarin tentang Kak Amrannya meleset.

Selepas makan, Ning Najma bergegas naik ke lantai dua. Ia ingin menenangkan diri di kamar ummahnya yang kini dipakai olehnya setiap kali bermalam di sana. Sedang di bawah, Gus Fahrul sudah menceritakan kesalah pahaman Ning Najma terhadap Amran pada Eyangnya.

Sebuah ketukan pintu mengambil perhatian Ning Najma yang semula menatap ke luar jendela kamar. Senyum usil tersungging di raut wajah Gus Fahrul yang kini berdiri di bingkai pintu. Masih malas berdebat, Ning Najma malah memutar wajah kembali ke luar jendela.

"Emh, ternyata adik kecil Kak Arul sudah banyak berubah, ya. Sekarang jadi pendiem kalau lagi marah."

Ning Najma tak menggubris godaan sang kakak. Ia kini berpura-pura fokus pada ponselnya.

"Udah lama nggak kumpul loh. Yuk turun!" Gus Fahrul mendekat pada Ning Najma yang masih saja membisu.

"Bukannya harusnya seneng bisa ketemu lagi sama Kak Aamnya? Dulu malah Nana yang ngintilin Amran terus loh."

"Nggak lucu!" ketus Ning Najma.

Senyum Gus Fahrul melebar. Ia lantas mengambil tempat duduk di sisi dipan sambil bersedekap.

"Harusnya kalau mau becanda jangan begini dong, Kak!" protes Ning Najma.

"Lah, begini gimana?"

"Terus yang kemarin sama Kak Arul itu siapa?" Ning Najma membalik badan.

"Haha, itu Adnan."

"Sodara dua pupu kita yang ada di Arab kan Kak Amran?"

"Adnan putra Pakde Azmi. Kalau Amran putra Pakde Bagus. Lupa?"

Ning Najma menelan ludah. Jadi kemarin benar dia sudah salah menebak orang? Tak hanya itu, dia juga sudah salah mengakui seseorang sebagai saudaranya? Ah, nggak salah sih, Adnan juga saudaranya. Tapi tetap saja dia salah mengakui salah satu di antara keduanya. Yang paling membuatnya malu adalah ternyata pria yang selama ini selalu mendapat perlakuan kasar darinya adalah kakak dua pupunya sendiri?

Entah dia harus bersikap bagaimana kali ini, yang pasti rasa malu itu tidak bisa begitu saja menghilang. Ning Najma tersadar, apa jangan-jangan Amran memang sudah tahu kalau Ning Najma itu Nana dua pupunya? Makanya dia selalu bersikap baik pada Ning Najma? Jika benar begitu, maka dia sangat keterlaluan.

"Terus kenapa kemarin nggak bilang?" protesnya.

"Kan Nana udah langsung ngaku-ngaku. Haha ...."

"Dia juga, kenapa malah diem aja? Bukannya bilang kalau salah orang."

"Siapa? Adnan?"

"Siapa lagi?"

"Haha, dia bukan tipe orang yang suka klarifikasi."

"Ish ...."

Alis Ning Najma bertaut, matanya menatap tajam Gus Fahrul, sementara bibirnya sedikit manyun.

"Apa dia sudah tahu Nana dari sejak lama?" Ning Najma duduk di samping Gus Fahrul.

"Sepertinya enggak tuh. Karena kemarin waktu di kampus, dia juga kaget saat tahu kalau ternyata Nana itu Najma Khadiejah. Apalagi sampai salah mengakui orang."

"Ish!" tepukan keras mendarat di lengan Gus Fahrul.

Bukannya merasa sakit, Gus Fahrul malah tertawa geli melihat wajah Ning Najma yang memerah.


TBC

Dah😅, nanti lagi.

Jeda༊*·˚Where stories live. Discover now