Jeda'25🌵

820 179 23
                                    

Happy Reading🌵

Kedatangan Kyai Bagus dan juga Ning Mila menjadi pelengkap kebahagiaan mereka hari itu. Perbincangan seputar masa lalu kembali di putar pada dua putra mereka. Sayang, Gus Amran─putra Kyai Bagus tidak bisa hadir. Gus Fahrul juga sekaligus meminta ijin pada Kyai Azmi untuk mengajak Gus Adnan ke kampus Gus Amran besok.

Keluarga Kyai Bagus dan Kyai Fahmi pamit undur selepas berjamaah dhuhur. Meski rasa rindu belum sepenuhnya terobati, setidaknya berkumpulnya mereka menjadi pengingat bahwa mereka tetaplah satu keluarga yang mempunyai visi misi yang sama. Yakni meneruskan perjuangan Rosulullah dalam naungan bendera pesantren yang mereka jaga.

Jeda༊*·˚

Gus Fahrul memarkir mobil di areal Pesantren Shohibul Quran. Ia memberi isyarat pada Gus Adnan untuk ikut turun bersama dirinya. Keduanya bergegas menuju kediaman Pak Abu.

Beberapa santri yang melihat kedatangan mereka langsung masuk ke dalam, mengabarkan pada pemilik rumah. Benar saja, tak berapa lama setelah Gus Fahrul dan Gus Adnan mengucap salam, Bu Maesaroh dan Pak Abu keluar menemui mereka.

Pak Abu yang sudah tahu bahwa Gus Fahrul adalah kakak Najma langsung meminta istrinya untuk memanggilkan Najma. Sementara Gus Fahrul dan Gus Adnan memilih untuk menunggu di sebuah gazebo yang sepertinya baru saja dipasang di samping tempat parkir. Tepat di depan asrama Najma.

"Kemarin, Ning Nana memang diantar teman-temannya ke sini, Gus. Katanya alerginya kumat."

"Oh, nggeh, Pak Abu. Kemarin Nana juga mengabari saya begitu. Saya ke sini karena Babah yang meminta saya untuk melihat kondisinya. Khawatir masih belum sembuh."

"Sepertinya sudah enakan, Gus. Tadi subuh sudah ikut berjamaah dan ikut menyimak hafalan para santri."

"Alhamdulillah, kalau begitu."

"Kabar Kyai dan Bu Nyai pripun, Gus?"

"Alhamdulillah baik semua. Oya, ini putra Kyai Azmi." Gus Fahrul menunjuk Gus Adnan yang sejak tadi hanya diam mendengarkan perbincangan mereka.

"Masyaallah, nggeh. Ngapunten, Gus!" Pak Abu mengatupkan tangan di depan dadanya. Tadi dia hanya bersalaman saja, lalu fokus mengajak Gus Fahrul mengobrol. Dia pikir lelaki yang bersama Gus Fahrul itu khadimnya. Seperti para gus lain yang biasanya selalu didampingi khadim ataupun supir.

"Nggak pa-pa, Pak! Santai saja!" Untuk Gus Adnan yang sama sekali tidak bisa berbahasa jawa hanya bisa mencoba mengartikan ucapan Pak Abu dengan isyarat tangannya. Sambil berharap bahwa jawabannya tidak akan salah.

Bu Maesaroh keluar dari asrama sendirian, tanpa Najma. Dia memanggil seorang khadimah yang tengah menyapu di halaman samping rumahnya. Berbisik sebentar lalu bergegas menghampiri Gus Fahrul.

"Ning Najma masih siap-siap, Gus."

Gus Fahrul menyimpul senyum saat mendengar penuturan Bu Maesaroh. Adiknya memang super. Cuma untuk ketemu dirinya di parkiran bisa-bisanya masih harus bersiap-siap selama itu.

Hingga seorang khadimah datang membawa nampan berisi teh hangat, Najma tak kunjung juga keluar dari kamarnya. Bu Maesaroh sendiri sudah pamit masuk ke dalam bersama khadimah tadi. Sementara Pak Abu meminta ijin untuk menjauh karena harus menerima telepon penting.

Seorang gadis berabaya hitam menyembul dari balik pintu. Ia menyipitkan mata ke arah parkiran. Setelah dirasa telah menemukan apa yang dicari, dia pun bergegas mengenakan masker dan sneakersnya.

Pasmina dari bahan diamond italiano berwarna tosca yang dikenakan gadis itu nampak melambai tersapu angin. Tak lupa penampilannya juga dilengkapi dengan mini backpack berwarna hitam di punggungnya. Dengan langkah pasti ia bergegas menghampiri pria yang kemarin sudah mengabarinya bahwa akan datang hari ini.

"Assalamu'alaikum, Kak Arul!" sapanya dengan ceria. Meski senyumnya tersembunyi di balik masker, tapi matanya terlihat menyipit saat mengucap salam.

"Wa'alaikumsalam warohmah." Gus Fahrul berdiri dari duduknya, begitu juga dengan Gus Adnan.

"Nih, kenalin! Dua pupu kita yang baru datang dari Arab. Namanya ..."

"Nana tau, Kak Amran 'kan?"

Senyum Najma melebar, sementara telunjuknya masih terarah pada Gus Adnan yang malah tampak bingung. Gus Fahrul tersenyum geli sembari menggeleng-gelengkan kepala. Menyayangkan tebakan sang adik yang terlalu percaya diri dengan tebakannya padahal salah.

"Pasti juga lupa, kalau dulu kita bertiga sering maen bareng di rumah eyang. Iya, 'kan?"

Senyum Fahrul makin lebar mendengar tebakan Najma yang kedua. Namun dia sama sekali tak berniat untuk meluruskan kesalah pahaman itu. Apalagi saat melihat tatapan mata Gus Adnan yang nampak makin bingung mau menjawab apa selain melempar senyum juga. Biar sekalian saja Gus Fahrul ngerjain Gus Adnan tanpa harus turun tangan langsung.

"Oya, Kak Arul nggak bilang sama ummah, kan?" Najma berbalik pada Gus Fahrul.

Pria jangkung itu menggeleng, "aman, insyaallah," jawabnya kemudian.

"Alhamdulillah, yuk berangkat!"

"Loh, mau ke mana?" tanya Gus Fahrul.

"Kampus, lah. Kak Arul ke sini buat sekalian antar Nana ke kampus 'kan?"

"Dih, ge-er. Orang mau jengung orang sakit kok."

"Siapa? Nana?"

"Siapa lagi yang kemarin bilang kalau nggak bisa nafas karena salah makan?"

"Dah sembuh kali, Kak. Udah sehat wal afiat. Sekarang waktunya ke kampus. Yuk ah!"

Najma menarik lengan Gus Fahrul.

"Sebentar! Tehnya Kakak juga belum kesentuh. Nggak enak kalau dibiarkan utuh. Nggak menghargai tuan rumah artinya."

Najma menyerah. Akhirnya dia pun memutuskan buat mencari Bu Maesaroh untuk sekalian pamit ke kampus.

"Parah, kenapa tadi kamu malah senyum-senyum aja pas adik kamu salah sasaran?" Protesan Gus Adnan malah membuat Gus Fahrul terkekeh.

"Sengaja," jawabnya singkat.

"Hadeh, awas nanti Nana malah ngamuk. Aku nggak ikutan loh."

"Haha, tenang aja! Kampus Nana sama Amran kalau nggak salah sama. Jadi nanti kalau ditakdir bisa ketemu bareng, salah pahamnya bisa dilurusin di sana."

Kali ini Gus Adnan yang geleng-geleng kepala. Selain dia memang tidak pernah berinteraksi langsung dengan akhwat, Gus Adnan juga sungkan untuk menjawab setiap pertanyaan dari Najma. Meski Gus Fahrul bilang mereka masih bersaudara. Tetap saja rasanya canggung bagi Gus Adnan.

Jeda༊*·˚

Sepanjang perjalanan menuju kampus, sesekali Gus Adnan mencuri pandang pada Najma lewat kaca spion di sisi kiri. Sedikit banyak hatinya dihantui rasa penasaran akan wajah Najma yang sejak tadi masih tertutup masker. Karena perawakannya terlihat sedikit imut dibandingkan dengan ukuran seorang mahasiswi.

Setelah percakapan tadi, Najma tak lagi mengajak bicara Gus Adnan. Melihat sikap dingin pria itu, Najma malah menyayangkan sikapnya yang sok akrab tadi. Seharusnya bukan dia yang menyapa duluan. Seharusnya dia bersikap layaknya wanita muslimah yang tak bermuda-mudah dengan lawan jenis. Entah apa yang ada di pikiran pria yang kini duduk di depannya itu.

Najma mencoba memejamkan mata seraya menyenderkan kepalanya ke kaca mobil. Dia juga masih harus memutar otak untuk mengucapkan kata terima kasih pada pria yang sangat tidak disukainya. Ah, hari ini benar-benar hari memalukan bagi Najma.

Tebece

Flashback Cinpes ga tuh?



Jeda༊*·˚Where stories live. Discover now