6-Takut

319 36 3
                                    

Halilintar bukannya tidak peka. Bukan pula kurang peduli. Cuma, karena ini merupakan sifat yang kemungkinan turun-temurun, Halilintar harus bersusah payah agar terlihat tidak terlalu peduli. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya cukup malu untuk mengakui kepedulian pada adik-adiknya. Yang notabenenya sekarang, tidak lagi menganggapnya sebagai si sulung.

Halilintar cukup sakit hati dengan itu. Dia menyumpah-serapahi Solar yang bisa-bisanya punya ide gila—menurutnya seorang diri—yang disetujui semua saudaranya.

"Solar sialan, bau kencur, bocil diam aja napa, sih!" Halilintar menendang kursi di dekatnya. Mengambil cangkir berisi air putih kasar lalu meneguknya cepat.

Halilintar marah. Pada Solar, pada semuanya. Halilintar merasa tidak berguna.

Diliriknya pintu kamar Duri yang berbagi dengan Solar sebentar, lalu menghela napas pelan. Mana tega ia membiarkan Duri sendirian di kamar, melawan rasa takutnya. Tapi, masalahnya Duri yang tidak mengizinkan siapa pun untuk menemuinya. Bahkan Tok Aba saja, tidak diizinkannya masuk.

Satu-satunya cara terbaik bagi Halilintar yang ditinggal berdua dengan Duri, adalah mondar-mandir di depan pintunya. Ia tidak mengetuk, tidak pula memanggil nama Duri. Sesekali berdecak dan mengusak surainya hingga berantakan.

Kepalan tangannya menggantung di udara. Halilintar menggigit bibir bawahnya, ia tahan napas sebaik mungkin. Beberapa detik berlalu, Halilintar menghela napasnya. Ini hanya adiknya. Bukan orang lain. Untuk apa ia takut?

Diketuknya pintu kamar beberapa kali. Tidak ada jawaban. Halilintar memutuskan untuk memanggil.

"Duri. Ini Hali. Tidak ada orang di rumah. Ayo, keluar dan makan." Sedetik setelahnya, Halilintar merutuki dirinya berkali-kali.

Tapi, hal itulah yang membuat Halilintar terkejut bukan main. Pintu terbuka, menampilkan Duri yang terlihat berantakan. Matanya merah dan sembab, pipinya basah, dan ingusnya beberapa kali ingin keluar, itu semua akibat ia menangis.

"Du-duri. Kau baik-baik saja, 'kan?" Bertanya dengan nada pelan, Halilintar segera menggapai adiknya. Meski dibalas rasa kejut, tapi Duri tidak memberontak.

Duri menggeleng pelan untuk pertanyaan Halilintar. Yang membuat Halilintar sukses dibuat bingung dengan jawaban ambigu Duri. "Kita makan, ya?"

Duri tidak menjawab. Tidak pula memberontak ketika Halilintar memapahnya menuruni tangga, menuju dapur.

=••=

Saat Halilintar menyiapkan makanan untuknya, Duri memperhatikan gerak-gerik kakaknya itu. Lalu menunduk. Air matanya ia biarkan mengalir melalui pipi dan jatuh ketika sampai ke dagu. Bayangan seorang wanita yang selalu dirindunya, kembali memenuhi kepala Duri. Rasa bersalah menghantam hatinya berkali-kali. Duri menarik ingusnya kuat hingga menimbulkan bunyi mengusir hening.

Halilintar kaget, segera menoleh. Ia menghela napas pelan. Duri menangis lagi. Harusnya ada Gempa di sini.

Halilintar segera mengambilkan nasi untuk Duri. Meletakkannya di meja makan, beserta lauk-pauknya. Ia mendekat pada Duri. Mengelus punggung Duri yang bergetar. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya sebagai penenang.

"Duri takut," lirihnya. Memeluk erat tubuhnya.

Halilintar masih diam. Bahkan saat Duri terus-terusan bergumam. Gumamannya berganti menjadi racauan. Air mata Duri kian menderas, tak ada tanda-tanda akan berhenti. Tangan Duri yang semula memeluk tubuhnya, kini bergerak meremas rambut ketika suara tawa menggema dalam kepalanya.

"Du-Duri?" Halilintar mulai panik. Ia beralih dari belakang Duri, melutut di hadapannya. Mencoba melihat wajah Duri yang kian berantakan.

Duri beranjak dari duduk, berlari menjauhi Halilintar. Ia merasa terancam. Pada Halilintar yang dilihatnya dalam wujud pria besar. Saat Halilintar menggapai dirinya, matanya terbelalak. Dia refleks memukul Halilintar saat membawanya dalam pelukan. Tangisnya kian menjadi saat menyadari itu kakaknya.

Look At Me, Please! [BoBoiBoy Siblings]Where stories live. Discover now