20-Awan, Bulan, dan Garis Lampu

196 25 5
                                    

Tatapannya sendu, semakin lama, semakin buram, hingga akhirnya ia mengalah, mengusap air matanya sebelum sempat jatuh. Kedua sudut bibirnya tertarik pelan, gemetaran.

Lihatlah, mereka tumbuh besar, tanpa bantuanmu Amato. Tanpa bantuanmu. Mereka bisa melewatinya.

Tok Aba tahu, ini menyakitkan. Mereka melewati masa-masa sulit, namun begitu berharga. Bersama-sama, merangkul dan perlahan-lahan saling mengerti satu sama lain. Rahasia besar yang disimpan begitu rapat tanpa celah, Tok Aba berharap ketika itu rahasia itu terbongkar, tak ada perpecah apa pun di antara ketujuh saudara ini.

=••=

Duri mendesah lemah. Kedua manik hijaunya menatap ke atas, pada awan kelabu yang menutupi cahaya. Meski tak segelap malam, tetap saja pemandangan di luar jadi tak indah. Ditambah angin kencang yang membuat bajunya seolah-olah menarik dirinya sendiri. Itu menyebalkan, sungguh.

"Duri."

Duri merasakan telapak tangannya diraih, sebelum digenggam dengan erat, dan itu membuatnya menjadi lebih hangat dari sebelumnya.

"Kak Gempa udah selesai?" tanyanya, masih menatap kapas-kapas kotor di atas langit yang menggumpal bersama itu.

Merespon pertanyaan Duri, Gempa kembali membuka kresek plastik yang ditentengnya sejam diterimanya dari si pedagang. "Hmm, kayakbya udah semua."

"Ayo cepat kita pulang."

Kedua kaki Duri mulai melangkah, tangannya masih berpegangan dengan Gempa, itu otomatis membuat Gempa ikut melangkah. Mulanya mereka berjalan biasa, seiring waktu langkah kaki mereka kian cepat dan melaju. Melewati toko buah, kerumunan orang-orang di jalan yang berburu diskon--padahal awan sudah hampir meruntuhkan tangisnya, lihat saja rintihan petir yang seakan menahan marah itu.

Sayang sekali, mereka harus menyeberang untuk bisa pulang di rumah. Menyeberang jalanan yang penuh dengan mobil berwarna merah, putih, hitam.

Selagi menunggu lampu berwarna hijau dan aman untuk diseberangi, Gempa membuka mulutnya, memecahkan keheningan dirinya sendiri.

"Duri, apa kau benar-benar ingin pulang ke rumah?"

Duri tersentak, seolah tertohok. "Apanya? Maksudnya apa?"

Gempa menggeleng, menggigit bibir bawahnya. "Ayo ke rumah Tok Gaharum dulu."

Suara bunyi lampu lalu lintas dan gambar dengan orang berjalan telah berganti warna menjadi hijau, Gempa segera menarik Duri.

Tapi, Duri bertahan di tempat. Padahal orang-orang di belakang mereka, mulai mencibir, menguntaikan kata-kata kesal karena menghalangi jalan. Tapi, Duri tidak peduli, kakinya seakan dipaku di tempatnya berdiri. Raut wajahnya berubah, dengan alisnya yang menukik, menatap Gempa dengan mata berkaca-kaca.

"Kak Gempa--" Duri tidak mampu menyelesaikan kata-katanya, terlalu kelu, sulit untuk dilanjutkan. Apalagi, melihat wajah Gempa dari samping, benar-benar seperti hendak menangis. Duri jadi urung kembali bicara dan memutuskan bungkam saja.

"Maaf, ya. Kak Gempa bakal antar kamu ke rumah Tok Gaharum malam ini. Kak Gempa cuma ... takut," suara Gempa bergetar di akhir, tangannya yang menggenggam Duri menguat hingga Duri menahan ringisannya.

Look At Me, Please! [BoBoiBoy Siblings]Where stories live. Discover now