22-Are You Really a Father?

183 22 1
                                    

Duri tidak dekat dengan ayahnya. Tapi, juga selalu menagih kasih sayang dari pria itu. Amato pun tak dekat dengan putranya itu. Namun, tak pernah sekali sekali pun mengabaikan Duri.

"Ayah ... itu bukan Duri."

Malam itu pun Duri dibanjiri air mata. Wajahnya tak henti-hentinya memelas dengan bibir gemetar mengucap sepatah-dua patah kata yang berhasil terucapkannya. Tubuhnya pun tak jauh beda. Dengan posisi menyedihkan, memegang kaki ayahnya yang sama-sama berlinang air mata, ia tak hentinya memohon. Memohon untuk dipercaya, memohon agar ayahnya menghentikan semua ini.

Padahal Duri sama sekali tidak paham. Tapi, pikirannya seakan dicongkel, dipecahkan untuk melihat kebenarannya. Jika sewaktu dewasa Duri berpikir bahwa penjahat dalam hidupnya adalah pria yang selama ini dipanggil "ayah" olehnya, apakah itu salahnya?

"Diam. Kau benar-benar membunuhnya. Pembunuh tidak layak hidup," suara Amato pun bergetar. Jari-jari tangannya yang menggenggam wajah, seolah berusaha meremukkannya. Berapa kali pun ia mencoba menghentikan air matanya, tetap saja. Tetap saja ia tidak bisa berhenti.

Malam itu, harusnya senyap. Namun, semuanya datang tanpa diduga. Petir menyambar tiba-tiba. Cahaya lampu padam seketika. Tidak ada yang tahu, malam itu, Duri merasakan rasanya sakit melebihi kehilangan sang ibunda.

Hilangnya sosok sang ayah.

Sejak malam itu pula, ia berasumsi, bahwa semua ini kesalahannya. Ibunya yang pergi, darah, penculikan, itu semua salahnya. Malam yang menjadi penghambatnya untuk berkembang.

Kata-kata yang menyakitkan. yang dulunya hanya ia dengar di balik kamar bersama Gempa. Terlontar tak jelas lantaran dipadu dengan hujan deras yang menimpa bumi tanpa ampun.

Padahal, sebelumnya ia tidak lagi mengira itu salahnya. Dia menyalahkan orang-orang itu, bukan dirinya. Tapi, karena ayahnya, pria ini berhasil membuat dia menyalahkan dirinya sendiri. Menganggap ia 'lah yang membunuh ibunya. Mengatakan pada dirinya sendiri berkali-kali, bahwa ia tidak berguna, bodoh, tidak bisa berkembang, karena itu adalah dosa yang harus ditanggungnya.

Malam itu pula, doa-doa yang terpilin bak benang putih di langit, terputus. Tentang kebahagiaan, keluarga yang lengkap, semuanya pupus dipijak pria itu. Dampak dari malam itu, Duri beranggapan, dirinya sebagai pembunuh tak pantas untuk meminta kebahagiaan.

Hingga, doa-doa itu berubah hanya untuk mereka yang disayanginya.

=••=

Burung berkicau pada nabastala memberi sambutan kepada bentala yang telah menghadirkan baskara di ufuk timur. Berseri lembut menyinari perumahan yang disusun rapi terencana. Di salah satu rumah, tepatnya di sebuah kamar pada lantai dua, sinarnya mentari yang masuk perlahan membentuk garis pada lantai bak turut berkicau seperti burung, membangunkan si pemilik kamar yang tampak tersiksa dalam tidurnya.

Benar saja, anak itu tersentak. Bangkit dari baringnya dengan napas tak beraturan dan mata yang tidak fokus. Keringat banjir di tubuhnya, lebih dulu memandikannya dengan peluh daripada air hangat biasanya. Ia mengusap wajahnya setelah menyadari itu hanya mimpi.

"Oh, Duri, sudah bangun."

Tubuhnya kaku ketika indra pendengarannya menangkap suara bariton tersebut, matanya membulat penuh keterkejutan. Ia menunduk, menoleh perlahan ke samping. Napasnya menjadi berat dalam hitungan detik, bahkan meski matanya hanya dapat melihat kaki orang itu dalam keadaannya yang menunduk saat ini, Duri jelas tahu siapa itu.

Look At Me, Please! [BoBoiBoy Siblings]Where stories live. Discover now