23-Banting Kursi

169 28 0
                                    

Duri menghempas tumpukan koran yang diikat menjadi satu. Tangannya ia tepuk, barangkali ada debu yang menempel di sana. Duri mengusap dahinya, basah oleh keringat yang mengucur keluar. Dia menghela napas kasar, merasa lelah.

"Duri, bantuin buang sampah dong!"

Duri menghela napas lagi. Lantas berjalan keluar menuju teriakan itu. Ada Blaze di sana, mengangkut satu plastik sampah besar berwarna hitam. Duri membuka matanya lebar-lebar.

"Banyak banget. Itu sampah punya siapa?"

Duri berjalan ke arah satu plastik sampah lainnya. Tidak sebesar yang dibawa Blaze.

"Punya Ice! Tuh anak malah numpuk sampah di kamar dekat kasurnya. Banyak banget plastik makanan." Blaze menggidikkan tubuh, wajahnya dibuat-buat jijik. "Sisanya, sampah-sampah kertas. Punya Ice juga. Tuh anak rupanya hobi kali bikin coretan."

Duri mengangguk-angguk mendengarkan. Tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak memiliki komentar yang tepat tentang kakak kelimanya itu.

"Oh, iya. Kita besok masuk sekolah, 'kan? Huwa, ngga nyangka udah masuk sekolah baru aja."

Blaze melirik Duri. Mereka berdua mulai berjalan menuju pekarangan.

"Iya juga! Padahal kayanya baru kemarin deh kita masuk sekolah menengah pertama. Ngga kerasa, asli!"

"Benar!" Duri menyengir. "Katanya bakalan ada ekskul pecinta alam! Duri mau masuk sana nanti. Biar ada kegiatan kayak yang lain juga!"

"Bagus. Aku juga mau masuk ekskul sepak bolanya dan jadi kapten nanti. Lihat saja, akan kukalahkan Taufan!"

Duri tertawa kecil, menanggapinya. "Duri juga mau dapat banyak teman nanti. Terus, jadi lebih rajin belajar biar bisa berprestasi kayak Solar!"

Blaze mengangguk semangat. "Kau pasti bisa Duri!"

"Ayok, semangat!"

Percakapan itu berakhir di sana. Duri dan Blaze setelah meletakkan kantong plastik di depan pagar, hendak segera masuk kembali ke rumah. Mencuci tangan, lalu lanjut membantu yang lain.

"Duri, Blaze! Bukain Ayah dulu!"

Blaze dan Duri berbalik. Blaze menepuk kepalanya. Merutuki diri sendiri melupakan ayahnya yang tadi keluar. Blaze segera membukakan gerbang untuk ayahnya, dan segera pria tersebut memasuki rumah.

"Ayah dari mana aja, sih? Lama banget."

"Ada deh. Liat Ayah beli apa?"

"Woah, kue! Mau!"

"Ayo, masuk dulu."

Amato merangkul dua putranya, masuk ke dalam. Diam-diam menghela napas, mengucap syukur dalam benaknya.

"Eh, Ayah? Sudah pulang."

Gempa yang ketika itu tengah mengepel lantai, lantas saja menghentikan kegiatannya. Dia segera pergi menuju dapur. Terdengar suara air mengucur dari kran.

"Blaze, bawa kuenya ke dapur, ya. Ayah mau bicara sama Duru dulu."

Yang disebut namanya tersentak kaget. Lantas saja, mencari pengalihan pandang, mengusap tangannya yang terasa dingin meski di luar mentari bersinar terang di atas membakar energi orang-orang yang berada di bawah naungannya.

"Oke ...."

Blaze menyambut plastik berisi kue tersebut. Tidak membantah. Tidak ingin membuat keributan seperti tempo lalu ketika dia menolak meninggalkan Duri berdua dengan ayahnya. Pada akhirnya, Blaze mengalah sendiri dengan perasaan seperti diblender.

Look At Me, Please! [BoBoiBoy Siblings]Where stories live. Discover now