15-Kian waktu, Kian menjauh

206 24 6
                                    

"Kak Duri, tungguin Solar!"

Tawa mereka berdua mengudara dalam terpaan angin lembut mengusap surai, mengikut arus lari mereka di atas hamparan karpet hijau rumput. Duri tersenyum lebar ketika berhenti dan berbalik. Menatap adiknya yang kian terengah-engah mengejarnya yang sudah begitu jauh.

"Ayo cepat! Bunda nungguin!" teriaknya lantang. Lalu cepat-cepat berbalik lagi dan berlari menuju ibunya yang menyusun perbekalan yang mereka bawa tadi.

Solar merengut, ia mendengus kesal. Tidak lagi berlari, karena ia rasa dadanya akan meledak jika diteruskan. Wajahnya cemberut, tak lagi tertawa riang seperti tadi. Ia menatap kakaknya sebal yang sudah duduk dilapik, mendapat elusan kepala dari sang ibu.

"Solar, ayo sini!" Duri melambai-lambai, lalu menepuk-nepuk tempat sebelahnya.

Tapi, Solar tidak mau duduk di dekat kakaknya. Pasalnya masih kesal. Ia berlalu duduk bersebelahan dengan ibunya, dan menggeliat di tangan sang ibu.

"Ibu, Kak Duri ninggalin tadi," adunya.

Ia mendongak menatap wajah sang Ibu. Anehnya, dia tidak bisa melihatnya. Hanya ada cahaya menyilaukan yang menyakiti matanya. Ia segera mengalihkan pandangan, lalu mengusap mata dengan punggung tangan hingga berair.

"Eh, Solar? Tidak apa-apa 'kan?"

Duri merangkak mendekati Solar, dia mengamati adiknya dengan seksama.

"Solar, Duri."

Baik Solar maupun Duri, mereka sama-sama menoleh pada sang ibu ketika dipanggil. Solar tak lagi mendongak, cahaya itu masih menutupi wajah ibunya.

Pipi Solar terasa hangat ketika dipegang oleh sang ibu. Diusap-usap dengan penuh kasih sayang. Ia melirik Duri, tapi wajah Duri sama sekali tidak menggambarkan kenyamanan seperti dirinya.

"Selalu jadi akur, ya. Bunda benar-benar berharap kalian dapat selalu menjaga dan membantu satu sama lain. Jangan menjauh karena ego. Agar nanti, tidak menyesal jika waktu sudah merenggut banyak hal."

Solar sama sekali tak mengerti. Dan tak akan pernah mengerti hingga ia merasakan sendiri maksud dari perkataan ibunya.

=••=

Solar membuka paksa matanya, ia segera mengganti posisi baring menjadi duduk. Napasnya tak beraturan dan ia merasakan keringat mengucur deras mengguyur wajah.

Dia baru sadar, berada di kamar setelah beberapa detik kemudian. Kepalanya jadi berdenyut-denyut, karena tadi tiba-tiba melihat ada ledakan cahaya yang menyakiti matanya. Selebihnya, dia tidak ingat apa pun.

"Itu mimpi," gumam Solar. Meyakinkan dirinya, tak ada yang perlu ditakutkan.

Solar turun dari ranjangnya dengan hati-hati. Dia melihat pada Duri yang tidur menghadap dinding, tampak nyenyak sekali sampai selimut tak lagi membungkus tubuh anak itu.

Setelahnya, Solar segera berjalan keluar kamar. Menuruni tangga menuju dapur. Niatnya hanya membasahi tenggorokan dengan secangkir air putih. Kalau perlu, ia akan meminum obat pereda sakit kepala, karena sakit di kepalanya itu kian menjadi ketika dirasakan dengan sengaja.

"Solar, kenapa bangun?"

Solar sontak memundurkan langkahnya, hanya untuk menemui Gempa yang menyembulkan kepala dari balik sandaran sofa. Solar juga baru sadar akan atensi Gempa, ia tidak memperhatikan cahaya biru redup di tengah gelapnya ruang utama.

Look At Me, Please! [BoBoiBoy Siblings]Where stories live. Discover now