10-Hujan, Memori, dan Bunda

230 31 1
                                    

Hujan. Gelap. Basah. Semuanya basah. Kaki Duri terasa sangat sakit untuk dipaksa berlari lebih jauh. Dia tidak tahu apa yang mengejarnya. Semua suara itu rasanya sangat dekat. Itu seperti kapan saja bisa menerkam dari belakang jika ia berhenti sebentar saja.

"Berhenti!"

Duri berteriak sendiri. Suaranya teredam oleh timpaan hujan.

"Diam!"

Suara itu begitu mengganggu. Kedua telapak tangan ia tekup pada telinga. Berharap suara itu menghilang. Duri heran. Benar-benar bingung, mengapa suara itu terdengar begitu keras, padahal kini di sekelilingnya dipenuhi bunyi hujan. Bahkan upayanya tidak membuat suara-suara itu menghilang.

Manik hijau yang sedari tadi bersembunyi di balik tirai, memaksa terbuka. Hanya untuk melihat sosok wanita bergamis kuning, khimar biru. Terlalu mencolok warnanya dalam kegelapan seperti ini.

Tubuh Duri kaku. Padahal tadi, larinya begitu cepat. Pikirannya turut buntu. Dia hanya dapat terpaku dalam jarak tujuh meter dari sosok yang membelakanginya tersebut. Punggung itu, punggung yang dulu selalu dipandang oleh Duri.

Perlahan figur tersebut mulai berbalik, menampakkan wajah sayu, terpoles senyum di bibir. Mata Duri memanas, dia ingin berteriak kencang, berlari ke arah sosok tersebut, memuntahkan seluruh ketakutannya. Tapi, segala gerak tubuh, bagai lumpuh. Sama sekali tak bergerak. Indra pendengarnya masih mendengar suara-suara itu, bersamaan dengan cahaya putih menyilaukan bergerak cepat ke arah mereka berdua. Mata Duri terbelalak, mulutnya terbuka hendak meneriakkan kata-kata waspada. Namun, lagi. Pikirannya tak sejalan dengan hatinya.

"BUNDA!"

=••=

ZRASS!

"Astagfirullah, ya Allah!" Halilintar mengusap dada yang berdegup kencang. Suara petir disertai kilat itu, membuatnya kaget, hingga merasa rohnya keluar dari tubuh.

"Ya Allah, hujan badai." Pria berusia lebih setengah abad itu memandang keluar jendela yang memburam akibat terkenal percikan air hujan.

Semua berkumpul di ruang utama. Berharap dengan sangat, agar badai ini cepat berlalu dan mereka dapat segera mencari Duri keluar. Ying dan Supra juga turut ada di sana. Tengah menunduk dengan perasaan bersalah memenuhi dada. Hingga afeksinya tak tertahan lagi bagi Ying, berakhir air matanya meluncur dengan deras.

"Ma-maaf," kata itu kembali meluncur dari bibir ranumnya.

"Ying, tidak apa. Tidak usah dipikirkan." Entah berapa kali Gempa, mencoba menenangkan Ying. Dengan jawaban berbeda setiap kali Ying kembali mengucap kata yang sama. Sejujurnya, sekarang hati Gempa lebih tak karuan. Dia terus-terusan memandang keluar jendela. Berharap hujan sedikit mereda.

Dengan angin kencang yang membuat pohon kelapa terbungkuk-bungkuk, atau bahkan dahan pepohonan patah, lalu disertai petir dan kilat yang menyambar-nyambar dalam sekilas menerangi langit yang dipenuhi awan gelap, hujan yang begitu ligat mengguyur kawasan Pulau Rintis. Sangat tidak mungkin keluar mencari Duri. Bahkan, berkendara dengan mobil pun rasanya mustahil. Apalagi hanya berbekal sepeda motor atau payung. Mungkin, mereka yang lebih dulu celaka sebelum menemukan Duri.

Tak.

"Wargh!" Halilintar berteriak keras. Reflek memeluk Taufan di sampingnya, memendam wajah pada ceruk leher pemuda biru tersebut.

Look At Me, Please! [BoBoiBoy Siblings]Where stories live. Discover now