24-Awan Mendung

153 26 2
                                    

"Kak Hali, aku mohon. Aku benar-benar harus ke sekolah sekarang, ini penting banget."

Halilintar membisu, membiarkan hening sekali lagi berkuasa dalam atmosfer kamar mereka.

Gempa menarik napasnya. "Kak Hali, cuma sehari ini aja. Setelah itu, Kak Hali bebas mau latihan silat atau apa pun itu."

Halilintar menghela napas kasar. "Ga bisa, Gempa. Satu minggu lagi perlombaannya."

"Tapi--"

"Gempa, udah! Biarin aja Duri sendirian di rumah. Bukannya bakal ada penculik yang mau nyulik dia waktu di rumah, 'kan!"

Gempa terdiam. Berusaha mencerna tiap bait kata yang dilontarkan Halilintar.

"Bukan itu masalahnya ... Duri lagi gak stabil, Kak Hali."

"Gak peduli." Halilintar melenggang masuk menuju kamar mandi. Meninggalkan Gempa dalam hening dan perasaan tak karuan.

Saat itu, adalah satu hari, sebelum Solar mengajukan permintaan gilanya untuk berhenti saling memanggil dengan sebutan 'kakak' di antara mereka.

=••=

Halilintar menarik tas ransel Duri hingga dia hampir terjungkal dan membuatnya jatuh terduduk hanya untuk merasakan tulang ekornya terhantam sesuatu di belakang. Suara panik orang-orang, hingga cemoohan dan beberapa omelan dilontarkan orang dewasa yang melihat kejadian tersebut. Mobil hitam yang mengkilat itu bahkan tak menurunkan kecepatan laju motornya sedikitpun. Meski mengetahui bahwa dia hampir menjadi seorang pembunuh jika seandainya Duri tak selamat dari kejadian itu.

Setelah meminta maaf beberapa kali pada orang-orang yang merasa resah dan menyalahkan mereka berdua atas kelalaian dalam menyeberang, orang-orang itu akhirnya bubar dari mengerumuni mereka. Pergi dengan perasaan kesal menumpuk di dada yang masih gelagapan tidak jelas, beberapa kata kesal masih terluncur mulus dari mulut mereka. Akhirnya, Halilintar berbalik, melihat Duri yang masih terduduk sembari menunduk, mengusap belakangnya yang terbentur pembatas jalan yang rusak.

Halilintar mengulurkan tangannya, diraih Duri dengan cepat. Duri masih menunduk, tangannya beralih mengusap bokongnya yang sakit.

Halilintar menghembuskan napas, dia ingin saja mengomeli Duri, tapi melihat anak itu terus-terusan menunduk membuatnya tak enak. "Kau baik-baik saja?" Akhirnya hanya sederet kata itu yang keluar dari kedua bibirnya.

Duri mengangguk pelan, nyaris Halilintar tak bisa menangkap gerakannya.

"Yakin? Mau berhenti sebentar untuk mengobati lukamu?"

Duri diam. Tidak merespon.

"Baiklah, jika kau ti--"

"Ayo, obati luka."

Halilintar tertegun, menatap Duri. Lantas mengerti mengapa tiba-tiba Duri ingin mengobati lukanya di luar bukan di rumah.

"Baiklah, ayo."

Halilintar menautkan tangan Duri, menggenggamnya sedikit longgar agar Duri tidak merasa kesakitan.

Halilintar sebenarnya juga memikirkannya. 'Kapan Ayah akan pergi bekerja lagi?'

=••=

"Sama, bingung."

Halilintar mendesah pelan. Tak ada gunanya bertanya pada Duri. Benar kata Solar, pergi berdua dengan Duri memang hanya akan membuat stres jika tujuannya jauh dari rumah.

"Hali."

Halilintar berdeham menanggapi panggilan itu.

"Ke makam Bunda, yuk."

Look At Me, Please! [BoBoiBoy Siblings]Where stories live. Discover now