8-Pandangan Mereka

297 34 1
                                    

Pagi ini begitu cerah. Saking cerahnya sampai matahari sudah membakar tubuh dan membuat kelas yang mendapat jadwal olahraga mandi keringat. Tapi, tidak perlu menyalahkan matahari terlalu banyak. Memang kegiatannya menguras tenaga.

Wajah Halilintar tak secerah mentari pagi yang menyapa para makhluk bumi. Wajahnya yang senantiasa datar sedatar tembok rumahnya Tok Kasa. Kini menjadi kusut sekusut kertas yang dilipat-lipat menjadi pesawat lalu diremas-remas kemudian dibuang ke tong sampah.

Taufan yang menyadarinya dengan baik hati menawarkan jasa curhat mendadak di kantin ditemani semangkuk bakso dan jus jeruk. Sebagai pembukaan, Taufan berkata,

"Hali, kalau kau punya masalah, mukanya jangan kusut gitu. Memangnya kau punya masalah apa? Cewek, ya? Ah, kau mencintai seseorang tapi tidak tahu cara mengungkapkannya? Tenang-tenang, ada Taufan di sini."

Di sinilah Taufan terkena timpukan oleh Halilintar. Yang membuatnya meringis dan misuh-misuh sembari mengunyah bakso.

"Orang udah baik, nawarin jasa curhat, malah ditimpuk."

Halilintar merotasikan bola matanya. Ia menghiraukan Taufan yang badmood. Kembali bergelut bersama pikirannya.

"Halah, gak usah malu-malu. Bilang aja lagi khawatir sama Duri. Duri noh, di kelas sama Solar."

"Tumben tuh bocah."

Taufan menggedikkan bahunya pertanda tak tahu sekaligus tak peduli pada Solar. Mungkin saja ia dapat hidayah setelah kakinya terkilir lalu berusaha menjadi baik. Tak apalah, itu bagus. Artinya, Taufan tak perlu pusing-pusing memikirkan Solar dan Duri.

"Gempa mana?"

Taufan menggedikkan bahunya lagi. Kali ini dia peduli, jadi membalasnya. "Mungkin di ruang OSIS. Kayaknya manusia yang paling aneh cuma Gempa, deh. Masa turun jabatan, bahagia."

Halilintar melirik Taufan. Lalu menghembuskan napasnya pelan. "Itu 'kan emang bukan keinginan Gempa. Jadi, ya wajar. Satu lagi. Gak cuma Gempa yang begitu, ada juga orang yang gak sabar nunggu masa pensiunnya."

Taufan mengerut. Dalam batinnya, ia berpikir, mengapa hari ini mood Halilintar turun-naik. Tadi pagi, seperti kilat yang menyambar-nyambar. Orang cuma diam, dipelototi. Sampai ke sekolah, mukanya berubah kusut, kayak orang tua yang terlilit hutang. Sekarang, malah santai ngomong sama Taufan.

"Aneh," gumam Taufan, menatap Halilintar dengan tatapan menyelidik.

"Ngapa lu," sergah Halilintar. Ia jadi tak nyaman dengan tatapan Taufan itu. Siapa tahu, Taufan berniat menjadikannya target kejahilan.

"Gak papa. Cuma aneh aja, kok bisa sih, mood-mu berubah-ubah udah kek cuaca sekarang aja. Sebentar-sebentar panas, entar hujan, entar badai. Gak demam, 'kan?"

Halilintar terdiam. Tidak menanggapi Taufan dengan cepat. Wajahnya berubah jadi mendung, dipenuhi awan-awan hitam. Dan entah bagaimana Taufan mendengar musik dengan vibes sad. Sepertinya memang hanya Taufan yang mendengar itu.

"Ini emang soal Duri."

Taufan mangut-mangut, membentuk mulutnya menjadi huruf 'O'. Dia memang tidak begitu paham perasaan Halilintar sebagai pelaku yang berhasil menenangkan Duri saat serangan panik sendirian. Karena dia sendiri tidak pernah melakukannya seorang diri. Selalu ada Gempa atau Tok Aba.

"Udahlah. Duri pasti baik-baik aja. Dia udah ngelewatin ini berkali-kali. Percaya aja sama Duri."

Halilintar tidak membalas lagi. Baginya, jika sudah membahas soal mental Duri, itu merupakan hal sensitif. Halilintar biasanya menghindari ini. Tapi, setelah dipikir, tidak mungkin ia terus lari dari kenyataan seperti seorang pengecut. Halilintar mendesah lemah. Rasa bersalah itu menggerogoti hatinya perlahan sejak kemarin. Kini semakin meluas dan menyebar membuat suasana hatinya berubah tak tentu arah.

Look At Me, Please! [BoBoiBoy Siblings]Where stories live. Discover now