19-Dead or alive

212 25 5
                                    

Teriakan demi teriakan itu memekakkan telinga. Suara pecahan kaca dan barang yang saling dilempar seperti bola basket menulikan pendengaran. Tak peduli berapa banyak air mata tumpah, atau bahkan tenggorakan yang terasa membakar, hati masih tak ingin berdamai. Tak ingin mengalah dan mendinginkan diri. Pada dasarnya, rasa emosi yang ditahan selama berbulan-bulan itu pecah, layaknya bendungan yang menumpahkan airnya tumpah-ruah, menabrak kasar dinding-dinding bangunan.

Mungkin keduanya lupa. Atau mungkin karena memang merasa hanya ada dua anak di rumah ini, akhirnya berani bertengkar hebat seperti itu. Padahal tak pernah sebelumnya, ketika semua anak-anak mereka masih ada di rumah, mereka seperti. Padahal sebelumnya, mereka masih saling menunjukkan kasih sayang pada setiap anaknya.

Satu orang anak itu, mengintip dari balik celah pintu. Tubuhnya gemetar, dan akibat rasa takut juga gugupnya membuat jantungnya sukses berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Pupil matanya mengecil, kala melihat betapa berantakannya rumah. Meski suara teriakan yang bersahutan itu mulai mengecil seiring berjalannya waktu. Anak itu segera menutup pintu, ketika mendengar lenguhan dari kembarannya.

Dia berlari kecil, mendekat.

Berlutut di depan saudaranya, dia menaikkan selimut yang menutupi adiknya. Malam ini tak ada kasur hangat, hanya lantai dingin yang berdebu.

"Kak Gempa ...."

"Duri, tidur lagi aja, ya."

Gempa mengelus kepala Duri. Dia memberi senyum kecil, di kegelapan yang mengelilingi. Gempa terlalu panik, sampai malah membawa adiknya ke dalam ruang penyimpanan. Untung saja, ruang penyimpanan ini tak terlalu dipenuhi barang-barang. Hanya sepeda dan beberapa alat kebersihan.

"Bunda sama Ayah ...."

"Ngga papa kok. Bunda sama Ayah kayaknya udah tidur. Duri tidur lagi, ya."

Gempa berusaha membujuk. Terus mengelus kepala adiknya. Duri tidak lagi mendongak, menatap Gempa. Dia menunduk, tampak memperhatikan sesuatu.

Gempa mengalihkan tangan satunya dengan segera, dan saat itu juga meringis.

"Kak Gempa baik-baik aja kok."

Duri tidak menjawab lagi. Dia menutup matanya, yang masih basah oleh air mata. Semakin lama, usapan di kepala Duri semakin pelan. Gempa akhirnya berhenti. Dan membiarkan air matanya mengalir deras. Dia mengepal, sangat kuat, sampai kuku-kukunya menggores permukaan telapak tangan. Tangisnya tanpa suara, karena meskipun luka fisiknya akan hilang, ia tak yakin luka di dalamnya akan benar-benar musnah.

=••=

Gempa juga tidak apa-apa jika nyawanya harus melayang sekarang. Tapi, juga masih ingin hidup. Ah, bukan. Dia tidak mengharapkan kematian, atau berharap hidup lebih lama. Dia menyayangi semua saudara-saudaranya. Gempa juga menyayangi atoknya. Berharap Tok Aba akan selalu sehat sudah menjadi doa utama yang dipanjatkannya dalam sholat lima waktunya.

Cinta dan kasih sayangnya pada keluarganya tak terbendung oleh apa pun. Dia senang melakukan pekerjaan rumah, itu sebabnya dia melakukannya. Bahkan meski dia pulang senja sekalipun, Gempa akan dengan senang hati membantu memasak. Siapa pun gilirannya saat itu. Gempa menyebut itu sebagai hobi. Rasanya, dia tidak bisa diam duduk santai, apalagi di hari minggu. Dia selalu senang menambah-nambah pekerjaan rumahnya sendiri.

Gempa tidak suka dengan suara keras, itu sebabnya Gempa selalu membenci tahun baru karena dihiasi ledakan dari petasan. Bukan berarti ia benci hari raya. Hanya saja, hari raya akan lebih baik tanpa adanya petasan.

Look At Me, Please! [BoBoiBoy Siblings]Where stories live. Discover now