26-Luar Biasa

238 29 2
                                    

Amato tertegun. Pikirannya tiba-tiba kosong. Matanya terbuka lebar dalam kegelapan. Jelas, jelas sekali tadi Amato melihat Halilintar yang mengintip di belakang pintu. Melesat pergi sebelum Amato sendiri sempat menghentikannya.

Tangannya masih mencengkeram bahu Duri, menghiraukan isakan Duri di tengah gelapnya malam.

Amato semakin tak paham, kenapa semuanya menjadi semakin rumit. Kenapa, Halilintar harus mendengarnya. Kenapa, Halilintar harus mengintip.

"Tidak ... Hali harus menutup mulut."

=••=

"Halilintar."

Halilintar menoleh ke belakang. Mendapati Taufan yang berjalan mendekatinya. Halilintar segera berdiri, menepuk-nepuk tangannya, membuang debu yang menempel ketika dia memindahkan kardus-kardus di gudang ini.

"Kenapa?"

Halilintar jadi memasang tampang serius melihat wajah Taufan yang juga serius. Biasanya, Taufan tidak akan begini, tapi Halilintar ragu jika Taufan hanya bercanda.

Detik berikutnya, tawa Taufan pecah. Dia menepuk-nepuk pundak Halilintar sembari memegang perutnya sendiri.

"Serius banget sih, Hali."

Halilintar tidak menjawab. Dia bersedekap dada, masih menatap Taufan serius. Sadar, bahwa tawa Taufan terlalu dipaksakan. Bahunya juga sakit, akibat Taufan memukulnya sangat keras. Halilintar, jadi semakin yakin, Taufan benar-benar punya hal serius untuk dibicarakan.

Melihat raut wajah Halilintar yang menatapnya seperti itu, mau tak mau Taufan terkekeh pelan. Dia menghela napas, sadar jika dirinya sudah tak ada alasan untuk berbohong.

"Apa yang Ayah katakan pada Duri?"

Wajah serius Halilintar meluntur dengan cepat. Dia tak lagi memfokuskan pandangan pada Taufan. Berdeham beberapa kali, dan menyapu keringat yang menetes di dahinya.

"Memangnya apa?"

"Aku yang bertanya, kenapa jadi ditanya balik." Dahi Taufan mengernyit. Kini gantian dirinya menekan Halilintar untuk jujur.

Halilintar melihat tekad di mata Taufan, tapi dia tahu, dia tidak bisa bilang. Tidak, sekarang. "Ayah bilang banyak hal pada Duri."

Taufan menggeleng pelan. "Bukan yang sekarang. Kejadian beberapa tahun lalu yang kumaksud. Aku tahu, kau paham."

"Aku tidak paham apa yang kau maksud," gumam Halilintar. Kembali berbalik, berjongkok meghadapi kardus di depannya.

Taufan ikut berjongkok. Menarik satu kardus ke dekatnya. Membuka kardus tersebut yang memperlihatkan banyaknya mainan yang sudah rusak milik mereka dahulu.

"Aku ... aku hanya merasa seperti tidak berguna."

Halilintar tidak merespon. Sibuk memilah buku yang masih utuh.

"Kau tahu sesuatu tentang Duri. Gempa juga, bahkan sepertinya mengalami hal buruk selama tinggal dengan ibu dan ayah. Sedangkan aku, bahkan tidak tahu apa-apa."

Halilintar reflek menoleh pada Taufan. "Apa maksudmu, Gempa mengalami hal buruk?"

Taufan mengangguk pelan, namun dia tidak menoleh pada Halilintar. "Gempa pernah cerita padaku. Saat kita berlima tinggal di tempat Atok, waktu itu umur kita lima tahun sepertinya. Bunda dan Ayah sudah banyak bertengkar. Bahkan Gempa dan Duri jadi sasaran pertengkaran mereka. Makanya, Gempa jadi berbeda sejak pindah ke rumah Atok. Lebih gampang kaget, kelihatan overprotektif sama Duri, dan sedikit dewasa juga menurutku."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 05, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Look At Me, Please! [BoBoiBoy Siblings]Where stories live. Discover now