17-Satu-dua kenyataan

204 20 4
                                    

Satu, dua, lempar!

Taufan tertawa kencang. Tubuhnya melambung tinggi ke udara, tekanan gravitasi membuatnya kembali turun ke bawah. Tapi tangan besar segera menyambutnya. Lalu tubuhnya kembali melambung lagi. Begitu terus hingga akhirnya, telapak kakinya kembali menapaki lantai keramik.

"Ayah, lagi, Ayah!" Taufan berseru. Tangannya terangkat, tubuhnya terhentak-hentak sebab ia meloncat. Padahal napasnya sudah ngos-ngosan, apalagi ayahnya kini.

"Udah ya, Taufan. Ayo kita ambil minum dulu!"

Taufan mengerjap-ngerjap pelan. Beberapa detik kemudain mengacungkan dua jempol secara bersamaan. "Oke! Siapa lambat, gak disayang Bunda!" Setelah mengatakan itu Taufan sudah lari duluan, kaki kecilnya lincah menuruni tiap anak tangga.

"Taufan, tunggu!" Amato juga ikut berlari. Saat hampir sampai di dekat putranya, ia memelankan langkahnya, tapi tetap sok berlagak lari. Ia bisa menang dari Taufan yang meski lincah tetap saja lambat.

"Yey, Taufan menang!" Taufan kembali melompat-lompat. Dadanya naik-turun. Lompatannya tidak selama tadi, dia sudah menjatuhkan bokong ke keramik. Beberapa detik kemudian, punggung dan kepalanya sukses mencium lantai. Taufan tepar, dia kelelahan, tak bisa bernapas.

Amato juga sama saja. Tapi, masih punya tenaga. Sigap mengambil dua gelas air minum. Segera menyodorkannya pada Taufan.

"Makasih, Ayah." Suaranya hampir tak terdengar, ia segera menenggak habis air putih. Biasanya Taufan anti air putih, maunya minum air es mulu.

Saat Taufan berniat meletakkan cangkirnya di atas meja, ia melihat sesuatu. Ah, bukan! Ada seseorang di samping kulkas. Menekuk lutut, satu tangannya melingkar, memeluk kaki, satu tangan lagi sibuk menguis-nguis lantai mengikuti bentuk keramik. Matanya sembab, pipinya basah. Wajahnya mirip Taufan tapi matanya warna hijau.

Eh?

"Duri!" Taufan berseru. Lantas berlari kecil mendekati adiknya.

Amato ikut menoleh. Seukir senyum terbentuk di bibirnya.

"Duri kenapa?"

Duri menarik ingusnya, mengusap hidung dengan lengan baju. "Duri marahan sama Kak Gempa."

Taufan cengo. "Eh, kenapa?" Apa yang Taufan tinggalkan selama ke mall bersama ayahnya tadi?

"Gara-gara Duri mau nemanin Solar."

Eh ...? Maksudnya apa? Taufan tidak paham. Baru paham saat malam, Halilintar menceritakan kronologis mengapa kepala Gempa berdarah.

Ternyata Taufan ketinggalan begitu banyak hal saat pergi ke mall selama dua setengah jam.

=••=

Ice memandangi Solar. Wajah putih pucat, memberi kesan menyedihkan pada seorang Solar yang tampak selalu bersinar. Kini mata yang penuh percaya diri itu malah terpejam erat. Tubuhnya terbaring di atas ranjang kesehatan sekolah. Dada Solar masih naik-turun, meski kini tertidur lelap. Sangat terlihat sedang menahan rasa sakit.

Tadi, perawat menyarankan agar Solar dibawa ke rumah sakit. Tapi, Ice menolak. Dengan beberapa pertimbangan yang bermunculan secara acak dalam kepalanya. Ia cukup panik, apalagi saat perawat itu bilang, kondisi Solar tidak stabil.

Ice sudah memanggil Halilintar. Memberitahunya perihal Solar. Kejadian seperti ini, memang bukan sekali ini saja terjadi.

"Ice."

Look At Me, Please! [BoBoiBoy Siblings]Where stories live. Discover now