14-Menghilang Dalam Kabut

225 23 7
                                    

Gempa mendongak menatap Amato yang tampak berkilau terpancar sinar mentari. Membuatnya seakan menjadi superhero gagah nan tangguh rela menjadikan punggungnya tameng demi keselamatan dunia. Dalam hal ini, dunia yang dilindungi Amato, adalah anak-anaknya. Gempa kembali meluruskan pandangan pada jalan, ia mengulum senyum, lalu menggenggam tangan Amato lebih erat.

Mereka berdua berhenti di depan tembok. Gempa mengernyit, bingung kenapa mereka malah berhenti di sini. Ia kira ayahnya akan mentraktirnya es krim, karena ia berhasil melewati hiruk-pikuk masalah yang terjadi beberapa hari ini.

Beberapa saat membiarkan hening berkuasa membuat suara gesekan antara daun ketika diterpa angin terdengar lebih jelas. Akhirnya, Amato membungkuk, menyelipkan tangannya pada Gempa, lalu mengangkatnya tinggi dan mendudukkan Gempa di atas tembok.

Gempa terperanjat kaget. Ia sampai bisa merasakan jantungnya berdetak sangat kencang. Tangannya mencengkram tangan besar Amato kuat-kuat. Takut jatuh, apalagi ketika melihat ke bawah. Jalanan yang diaspal terlihat sangat menakutkan dari sini.

Amato menghela napas pelan. Lalu mengelus surai Gempa lembut. Pada dasarnya, tembok itu tingginya hanya mencapai dada Amato saja.

"Gempa jangan takut, ya. Kalau kamu liat ke bawah terus, kamu gak bisa liat apa yang ada di depan Gempa. Coba lihat pelan-pelan ke depan."

Gempa tidak menjawab, tapi menuruti perkataan Amato. Ia arahkan pandangan ke depan. Hanya tembok yang lebih tinggi lagi. Dan tegangnya belum berkurang sedikit pun.

"Gempa tahu, Nak. Kalau kamu terus-terusan melihat ke bawah, kamu akan takut. Anggap saja jalanan di bawah adalah masa lalu. Jangan sampai terikat dengan masa lalu, hingga membuat Gempa lupa jika ada hal lain di depan. Kalau kamu terus melihat ke bawah, kamu bakal terus-terusan takut. Takut jatuh kalau melangkah ke depan."

Gempa mendengarkan, tapi tak menjawab. Saat itu yang ada dalam hatinya hanyalah takut. Takut jika sekiranya ia jatuh ke bawah. Ia mencoba untuk tidak menatap ke bawah, tapi rasanya percuma.

"Memang gak mudah, Gempa. Tapi, kalau Gempa berusaha buat gak terus-terusan natap ke bawah, pasti bisa! Liat tembok yang ada di seberang? Bahkan jika Gempa rasa kalau pergi ke depan ujung-ujungnya hanya akan terhalang tembok, Gempa tetap gak boleh nyerah. Ibaratkan tembok yang ada di seberang itu, masalah. Hancurin masalah itu! Dan liat apa yang ada di baliknya."

Lambat-laun Gempa mulai hanyut. Ia merasa kepalanya pusing kalau terus-terusan melihat ke bawah. Ia memilih untuk memikirkan apa yang ada di balik tembok itu. Dari ujung, meski sedikit, ia dapat lihat pemandangan hijau, sepertinya indah.

"Gempa gak harus ngelakuin sendirian. Gempa juga perlu pegangan supaya gak jatuh." Amato masih terus bicara, meski tahu Gempa tak menggubris perkataannya. Setidaknya ia mendengarkan.

"Gempa paham?"

Gempa geleng-geleng. Ia tak sanggup bicara, masih memikirkan rasa takutnya.

"Suatu hari nanti, Gempa akan paham." Amato menarik napasnya, lalu perlahan ia hembuskan. Ditatapnya wajah Gempa yang berkerut penuh rasa takut. "Gempa tolong jaga Duri, ya? Ayah titip Duri sama Gempa."

Kala itu Gempa hanya mengangguk. Tanpa tahu, itu adalah tanggung jawab besar yang diserahkan pada bahu kecilnya yang saat itu baru beranjak delapan tahun.

Look At Me, Please! [BoBoiBoy Siblings]Where stories live. Discover now