TOM 07 [Ifa sakit] ☑️

662 36 0
                                    

"Ya Allah!" Aku berlari menghampiri Ifa.

Dia menangis jatuh dari sepeda, kakinya sampai berdarah.

Hari ini memang sedang tidak ada orang di rumah, hanya ada aku dan Ifa. Sementara Radit ikut pergi dengan ibu dan neneknya.

"Aduh, kamu kenapa ngga hati-hati, sayang?" Aku berlari menghampiri Ifa.

Anak itu hanya menangis memegangi bagian luka di kakinya. Perutku juga terasa sakit, mungkin ini karena reflek ku saat berlari.

Setelah itu, aku langsung mengajak Ifa ke dalam rumah, agar dia bisa istirahat. Sembari ku kompres lukanya sampai Ifa tertidur.

🍁

"Ifa demam!" Teriak Dini.

Kami langsung menghampiri Dini yang sedang menggendong ifa.

"Dahinya panas, badan nya gemetar, matanya mendelik ke atas, ditanya juga nggak respon! Paniknya.

"Itu kejang," Potongku.

"Matanya lihag ke atas terus begitu, pasti kesambet." Mbak Rara memperkeruh suasana.

Kami semua ikut panik, bagaimana tidak?

"Jangan di gendong! Kalau sedang kejang seperti ini, coba Ifa di letakin ke playmat. Miringin dan longgarin pakaiannya."

Baru saja aku hendak membantu menurunkan Ifa dari Dini, namun tanganku ditepisnya.

"Kamu gimana sih, Mbak! Ifa lagi begini malah di geletakin." Kesalnya.

"Memang kaya gitu penanganan pertama kalau anak kejang. Kalau nggak, segera bawa IGD langsung aja di rumah sakit." Jelasku.

"Enggak!" Spontan mbak Rara menyambar usulku.

"Ayo kita bawa saja ke rumah ki Jono!" Usul ibu dan bapak mertuaku setelahnya.

"Ayo, nanti Hari yang mengantar!" Mas Hari bersemangat menawarkan diri.

Kenapa pendapatku selalu saja tidak mereka hiraukan, bahkan ditolak mentah-mentah?

Lalu siapa itu itu ki Jono?

Sudahlah. Semenjak keberangkatan mereka ke rumah ki Jono, aku langsung masuk ke dalam kamar, menunggu mereka pulang.

.

Nyeri di area perutku belum mereda, kram perut berlangsung lebih lama dari biasanya.
Ku tutup mata perlahan, berharap aku bisa tertidur, agar rasa sakit bisa berkurang.

🍁

"Gimana keadaan Ifa, Bu?" Tanyaku menghampiri.

Ibu mertuaku sedang menemani cucunya di kamar. Sementara Ifa sedang tidur, badannya masih demam tinggi.

"Masih demam, Gin." Jawabnya.

"Ya Allah, Ifa. Cepet sembuh ya, sayang!" Aku duduk di samping Ifa yang sedang menggigil.

Matanya melirik ke arahku lalu tersenyum manis.

"Ini semua gara-gara mahluk yang mengganggunya itu!" Kesal ibu mertua, setelah mas Hari tiba-tiba masuk ke dalam kamar.

"Semoga Ifa cepet sembuh ya, Bu. Lagian kan udah di kasih air dan di bacakan doa dengan benda pusakanya ki Joko!" Jawab mas Hari begitu los di depanku.

Aku yang tidak tau apa-apa hanya diam penuh tanda tanya.

Air?

Benda pusaka?

"Nanti kalau belum ada perubahan, kita bawa kesana lagi!" Sambung mas Hari.

"Pasti, Har!" Seru Ibu.

🍁

"Bu, biar Gina aja ya yang masak buat nenek kakek titua,"

Baru saja selesai memasak untuk makan malam. Ibu baru saja memulai masak untuk nenek dan kakek titua.

Memang setiap hari, ibu lah yang memasak makanan untuk mereka. Mereka yang membeli bahan mentah, lalu ibu yang mengolahnya.

"Enggak usah, Gin. Biar ibu saja. Tolong bantu ibu ambilin wajan ya di rumah nenek titua," ucapnya.

"Itu kan wajan, Bu?" Tunjuk ku. "Udah Gina cuci tadi."

"Nggak boleh sembarangan kalo buat nenek sama kakek. Ayo ambilkan saja." Pintanya.

"Iya, bu."

Entahlah, Wajan saja di permaslahkan dan harus milik sendiri.
Bukan hanya itu, nenek dan kakek hanya mau makan olahan ibu mertua ataupun budhe.

Mungkin mereka mengira masakanku tidak higenis. Apa mungkin mereka jijik dengan masakan orang lain?
Sampai mereka tidak bisa sembarangan makan olahan orang lain? hmmm.

"Tidak lagi-lagi aku menawarkan diri untuk hal ini!"

🍁

Dua hari berlalu, badan Ifa tidak kunjung membaik. Dia sering menangis karena sakit kepala dan sering mengeluhkan perih pada bagian luka kakinya.

Sudah ku coba kompres hangat, tetapi suhu badannya tidak kunjung turun.
Baru saja akan ku minumkan obat penurun panas untuk Ifa, ibu mertua dan Dini tiba-tiba menghampiri ku, mereka melarang keras agar aku tidak memberikan obat apapun.

Bahkan mbak Rara ikut melarang, ia bahkan menyalahkanku.

"Jangan asal kasih obat ke anak orang dong Gin, bisa kan? Nanti kalo ada apa apa gimana?" Ucapnya mengambil paracetamol syrup di tanganku, lalu membuangnya ke tong sampah.

Astaghfirullah, padahal aku belum sempat memberikan obat itu kepada Ifa.
Lagipula aku hanya ingin dia sembuh dengan usaha memberikannya obat penurun panas. Siapa tau dengan obat itu, Ifa bisa sembuh.

"Lain kali jangan kaya gitu lagi, aku gak suka kamu sembarang kasih sesuatu ke anakku, tanpa izin!" Sambung Dini.

"Yasudah Gin, masuk ke kamar kamu gih. Biar kita saja yang jaga Ifa." Ucap ibu mertuaku. Satu matanya ia kedipkan ke arah mas Hari, kode agar aku di bawa pergi dari sini.

Ternyata sejak tadi, mas Hari ada di ambang pintu menyaksikan. Tapi kenapa dia diam saja, tidak membelaku?

🍁

"Lain kali jangan kaya gitu ya, Dek.
Maaf, mbak Rara emang nada bicaranya suka gitu, judes kalo lagi marah."

"Iya!" Jawabku singkat.

"Maafin mereka kan, Dek? Jangan masukin ke hati ya," Ulangnya.

"Hmmm,"

Aku benar-benar tidak menyangka mereka bisa semarah itu, hanya karena Ifa akan ku berikan obat.

Siang tadi aku memang keluar membeli sayuran, berhubung ada apotik di sana, jadi sekalian saja aku belikan obat syrup untuk Ifa, karena dia itu keponakanku. Aku juga sangat menyayanginya, baru 40 hari bersama anak itu, aku sudah sesayang ini.

Tapi ternyata, kejadian tidak terduga membuat aku benar-benar terkejut dan terheran, karena di anggap lancang.

Padahal aku tidak memberikan makanan mengandung racun, tapi sesuatu yang ku beli siang tadi itu adalah obat penurun panas anak.

Terlebih lagi mengingat mas Hari yang sama sekali tidak membelaku. Ah rasanya malas sekali!

Seharusnya dia memberikan penjelasan kepada mereka, bukan malah diam dan seolah ikut menyalahkanku.

"Astaghfirullah, paringono sabar kulo teng mriki Gusti, ....."

[Astaghfirullah, berilah kesabaran saya di sini, ya Allah]

🍁

Bersambung...

TAKUT ORANG MATI? Where stories live. Discover now