TOM 23 [Meninggalnya Kanaya] ☑️

551 29 3
                                    

"Hari dimana, Gin?" Tanya Ibu menghampiri.

"Mungkin masih tidur di kamar," Jawabku menoleh sebentar, lalu melanjutkan mengepel.

"Oh, yasudah, titip jamu buat Hari ya, soalnya Ibu mau buru-buru ke pasar. Inget, harus di minum sama Hari! Biar sehat suamimu, nggak gampang capek, sehat, segar bugar." Pesan nya meletakan satu gelas jamu di atas meja.

Sebelumku menjawab, Ibu sudah berlalu. Aku mendekati satu gelas jamu itu, "Mungkin minuman ini sudah di campur sesuatu dari ki Jono, biar mas Hari menuruti apa saja yang di katakan mereka."

Dengan cepat, aku langsung membuangnya dan menghilangkan jejak bekas jamu pemberian Ibu untuk mas Hari.

🍁

"Buuuk, Ibuuuuuuuuu,...." Teriak Dini.

Aku keluar setelah  membereskan kamar. Sementara mas Hari sudah berangkat bekerja.

"Ibu keluar, ke pasar katanya." Jawabku seadanya.

"Berangkat kapan?"

"Baru saja,"

Dini langsung duduk di kursi dan sibuk menatap layar ponselnya, ia melakukan panggilan suara ke ibunya dan mbak Rara, namun tidak mereka jawab.
Dini terlihat panik, terus saja mengotak-atik ponselnya, kembali menghubungi seseorang.

Aneh! Dini dengan mudah menghubungi ibu dan mbak Rara tanpa kendala sinyal, sementara aku sama sekali zonk. Padahal kami menggunakan kartu yang sama.

"Memangnya ada apa, kok panik begitu?" Tanyaku.

"Nggak ada apa-apa." Jawab Dini singkat.

"Hmmm,"

Pekerjaan rumah sudah selesai, mungkin lebih baik aku keluar sebentar sembari menunggu kak Bayu kemari, sekedar jalan-jalan atau, ------

"Ya, aku akan ke rumah Kanaya lagi!" Pikirku.

Aku berhenti sejenak saat melihat banyak sekali orang berjalan ke satu arah. Aku tidak bisa bertanya, karena mereka berjalan dengan sangat terburu-buru.

Mereka berlalu, aku semakin dekat dengan rumah Kanaya, namun sepi sekali. Bahkan ketika aku mengucap salam sampai tiga kali, tidak ada jawaban darinya.

"Apa Kanaya sedang tidak ada di rumah?" Lirihku, kemudian berbalik arah dengan sedikit kecewa.

Namun saat berbalik arah, keluar dari kawasan rumah Kanaya yang di penuhi dengan tanaman bunga yang sudah layu, aku berpapasan dengan Ibu Hanum.

"Eh, Neng Gina kok sampai sini?" Ucap bu Hanum.

"Iya, Bu. Jalan-jalan agak jauhan sekali-kali. Bu Hanum mau kemana?
Kok Gina lihat banyak sekali orang lewat ke arah yang sama?" Tanyaku.

"Anaknya Ki Jono meninggal, Neng."

"Meninggal?" Ulangku.

"Si,----s---siapa?" Tanyaku terbata-bata.

"Tidak mungkin Kanaya kan? Tidak mungkin! Siapa tau, ki Jono punya banyak anak, bukan hanya Kanaya saja." Batinku berusaha membuang jauh-jauh pikiran buruk tentang Kanaya.

Jika yang meninggal anaknya ki Jono yang lain, harusnya ada mereka di sini, warga kampung juga harusnya kemari, bukan?!

"Neng Gina nggak mungkin kenal, soalnya dia sedikit gi-la. Sama seperti Ibunya dulu. Meninggalnya juga sama-sama bvnuh diri!" Ucap bu Hanum.

Pikiranku semakin tak karuan memikirkan kemana perginya Kanaya. Tapi mana mungkin? Yang bu Hanum ceritakan adalah anak ki Jono yang gi-la. Sedangkan Kanaya gadis normal, dia cantik, sopan, rapi, baik, dia juga perempuan shaleha, mana mungkin Kanaya melakukan dosa besar bvnuh diri?

TAKUT ORANG MATI? Where stories live. Discover now