TOM 16 [Ketukan] ☑️

500 22 0
                                    

"Dek,-----"

Mas Hari terkejut, begitupun denganku.
Aku menatap tajam mata mas Hari yang tak mau menatapku. Aneh, tak biasanya suamiku memakai baju serba hitam, mulai dari celana, baju dan topi. Sarung melingkar di belakang lehernya, terlihat mas Hari membawa kantong keresek berwarna hitam di tangannya.

"Darimana kamu malam-malam begini, Mas?" Tanyaku, mengerutkan kening.

"Da__dari pos ronda. Hari ini kan jadwal bapak meronda, jadi mas yang menggantikan bapak, Dek." Jawab mas Hari terbata.

Entahlah, aku mengekori mas Hari yang sudah berlalu, masuk ke dalam kamar.
Sesampainya, suamiku langsung merebahkan badannya, ia terlihat sangat lelah. Tak mau rasanya mengganggu tidur suamiku dengan bermacam-macam pertanyaan.

🍁

["Halo, Din."]

["Ya, aku akan segera kesana!]

Itulah jawaban mas Hari ketika menerima panggilan dari adiknya, Dini.
Secepat kilat setelah membersihkan diri, mas Hari langsung bersiap-siap.
Aku tak berani bertanya, masih fokus menyiapkan sarapan untuknya dan anak-anak yang masih tertidur.

"Setidaknya sarapan dulu," Sindirku.

Mas Hari mengangguk, kemudian duduk di kursi setelah mengambil nasi beserta lauk.
Mengunyah makanan dengan cepat dan mengakhirinya dengan minum beberapa teguk.

"Mas, berangkat!" Ucap mas Hari mengambil jaket yang sudah ada di belakang kursi dan berlalu.

Aku menarik tangan suamiku yang kian mempercepat langkahnya.
Sungguh, saat ini aku benar-benar ada di titik ingin sekali meluapkan rasa di hati, aku ingin menangis sejadi-jadinya di hadapan suamiku, mas Hari.

"Mas, ..... "

Airmataku mulai mengalir membanjiri kedua pipi, perih sekali hati ini melihat perubahan dan sikap dinginnya.

"Dek, kamu kenapa?"

Aku semakin terisak. Mas Hari membalikan badan, kemudian memeluk tubuhku dengan erat.

"Mas, kenapa kamu bersikap dingin begini. Bukan cuma aku yang kamu abaikan, tapi calon anak kita yang tidak tahu apa-apa ikut kamu abaikan. Jangankan di perhatikan, seakan kamu sudah tidak peduli lagi terhadap aku dan anak yang sedang ku kandung ini!" Keluhku, dengan butiran air mata yang masih berderai.

Mas Hari semakin mengeratkan pelukannya, ia menciumi keningku berulang-ulang dan mengusap lembut rambutku yang tertutup dengan jilbab.

"Maafkan mas ya, dek. Maaf sudah membuatmu bersedih. Mas egois,"

Terlihat ada sesal di wajahnya, rasa sayang dan cintanya tak berkurang sedikitpun, melainkan ini memang karena keadaan, kondisi dan situasi yang membuat hubungan kami merenggang.

"Dek, justru saat ini mas sangat menyayangimu dan calon anak kita. Sebisa mungkin mas ingin melindungi kalian, ingin memberikan yang terbaik untuk keluarga kita. Maafkan mas kalau berkesan mengabaikan atau malah seperti tidak peduli, dek."

"Mas janji setelah ibu sembuh dan pulang ke rumah, kita akan pulang ke kota, mas akan perbaiki semuanya dan, ---------"

"Dan mas akan menjadi apa yang kamu mau, maafkan mas yang sekarang, dek." Sambung mas Hari.

Aku mengangguk.

"Maaf ya, Nak. Ayah tinggal lagi, ayah itu sayang banget sama kamu dan ibumu,"

Ciuman mendarat bertubi-tubi ke perutku dengan kasih dan sayang, lemah dan lembut.

"Dek, kamu izinin mas pergi kan?"

Aku kembali mengangguk.

"Jangan berpikir macam-macam ya, sayang. Mas berangkat dulu, jaga dirimu baik-baik di rumah, jaga calon anak kita.
Mas nitip Ifa sama Radit, maaf merepotkan kamu lagi, Dek."

Aku menggeleng, "Aku tak merasa di repotkan mas,"

"Mas pamit, Dek."

Aku mencium punggung tangan suamiku, setidaknya hatiku sudah lega dan sudah terobati. Aku berharap ibu mertuaku cepat sembuh, sehingga kami bisa cepat pulang ke kota.

"Akan ku tanyakan tentang ucapan bapak yang tak sengaja ku dengar, tentang pekerjaan mas Hari yang gagal total, setelah situasi memungkinkan dan bisa leluasa bicara empat mata."

🍁


Seusai shalat isya, seperti biasa ku ajak Ifa dan Radit mengaji. Mereka sangat pandai menghafal, sehingga dengan cepat bisa menguasai bacaan yang di ajarkan.

Ku ajak Ifa dan Radit tidur, karena hari sudah semakin malam. Setelah mereka terlelap, akupun bersiap merebahkan badanku di samping mereka hingga beberapa saat kemudian ku terpejam.

"Mbak, to----long!"

Suara itu tersendat-sendat.

"Tolong, a-----ku." Ucap suara itu lagi.

Aku menoleh ke arah suara itu berasal, aku seperti mengenal suara itu, tapi aku tidak yakin. Ditambah lagi, tidak ada siapapun disini.

#GUBRAGGGGGGG

Aku terbangun karena mendengar ada suara sesuatu keras yang terjatuh, yang berasal dari atap rumah.
Mengucek kedua mata yang masih lekat dan melihat ke arah jarum jam dinding, ternyata aku tidur hanya satu jam saja.

Ahh, mimpi apa tadi? Aku mendengar suara seseorang meminta tolong padakku disana.

Siapa dan minta tolong kenapa?

Secepatnya aku langsung membuang pikiran negatif itu dan menganggapnya hanyalah bunga tidur.

"Mungkin mimpi itu, agar aku bangun melaksankan shalat malam."

Aku langsung beranjak mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat tahajud.

Baru saja selesai wudhu dan hendak mengambil mukena serta sebuah mushaf al-Qur'an, lagi-lagi aku di kejutkan dengan suara ketukan dari arah luar pintu kamar.

#TOKKK #TOKKKKKKKK

Berusaha setenang mungkin tetap melanjutkan niat, tetapi suara ketukan itu terus saja terdengar. Sudah jelas, itu sangat mengganggu kekhusyuan.ku.

BERSAMBUNG°

TAKUT ORANG MATI? Donde viven las historias. Descúbrelo ahora