TOM 10 [Awal puasa] ☑️

623 33 3
                                    

Sudah 2 bulan lebih aku di kampung suamiku.

Mas Hari belum juga mengajak pulang ke rumah, karena tuntutan pekerjaanya yang memang lebih dekat jaraknya dari sini.
Terpaksa aku harus menghabiskan  bulan ramadhan di kampung, yang  tinggal menghitung beberapa hari lagi.

Kami akan pulang ke rumah dan bertemu dengan ibuku sebelum hari raya idul fitri.
Sebenarnya aku sangat merindukan Ibu, tapi karena jauhnya jarak antara rumah kami, ibu ataupun aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mengirim doa dikala sedang merindu seperti ini.

Ibu tinggal bersama Kak Bayu, Bapak sudah lama meninggalkan kami.
Beliau pingsan tak sadarkan diri selepas menunaikan shalat subuh, karena serangan jantung.

🍁

"Wah cantiknya," Aku memuji penampilan baru Ifa.

Dia menghampiriku dengan jilbab warna  merah muda.

"Iya dong, kan Ifa cantik seperti tante Gina!" Jawabnya dengan senyum merekah. Aku hanya terkekeh.

Semuanya memandangku dengan tatapan tak suka. Dini menatap heran anaknya, yang tiba-tiba mengenakan jilbab.

"Kamu mau kemana, Sayang? Itu jilbab siapa? Ucapnya ke arah Ifa.

"Enggak mau kemana-mana, ini jilbabnya di belikan tante Gina. Kan Ifa mau seperti tante, pake jilbab."

Hening, ...

"Cantik kan, Ma?" Jawabnya polos.

Lagi-lagi semuanya memandangku sinis, melirikku dengan sorot mata tajam.

"Tapi kan Ifa masih kecil, emangnya nggak kepanasa  kaya gitu?" Tanya mbak Rara kemudian.

"Enggak kok tante. Makanya, karena Ifa masih kecil, kata tante Gina harus latihan dulu pake hijab sebelum dewasa nanti,"

Aku memejamkan mata dan mengalihkan pandangan dari mereka, sudah pasti aku akan di salahkan.

Tetapi mas Hari menanggapi dengan biasa saja, "Pinternya keponakan, om!" Puji mas Hari.

Sorotan mata mereka berpindah ke arah mas Hari.

"Iya dong, kan Ifa mau jadi anak pintar dan sholeha!" Jawabnya begitu bersemangat.

"Nanti kalau masuk sekolah, Ifa mau seragam panjang ya, Bu. Biar bisa pakai jilbab."

"Lho, memangnya Ifa gak malu, masa Ifa sendirian yang pake seragam panjang? Ibu mah nggak setuju!" Dini menjawab dengan raut wajah kesal.

"Enggak, Ifa nggak malu. Seharusnya ibu, eyang, sama tante Rara juga sama kaya Ifa dan tante Gina. Kan kalian sudah dewasa," Jawabnya lugu.

Aku memandangi Ifa, dia begitu jelas mengatakan hal seperti itu di saat kami semua sedang berkumpul, hendak makam malam. Entah mengapa, anak itu cepat sekali mencerna kata-kataku yang ku sampaikan saat itu.

Ada rasa canggung yang menyelimuti hati, rasanya ingin sekali menjauhi mereka yang sudah terlihat murka.

"Ah lama-lama aku muak!" Mbak Rara tiba-tiba pergi dan melangkahkan kakinya dengan kasar.

"Dini, ajari tuh anakmu si Ifa! Jangan biarkan dia tumbuh jadi anak sok suci!" Kesalnya.

Dini memandangku benci, ia seperti ingin menerkam mangsa, tangannya mengepal dan di layangkan ke meja makan dengan sangat keras.

"Ahh, terserah! Nggak selera makan aku jadinya!"

Ada bulir air mata yang akan terjatuh, tapi aku masih bisa menahannya.

🍁

"Kalau pantas mah, akan Dini larang Ifa main sama Gina!" Teriaknya di dalam kamar.

Aku mendengar karena suaranya lumayan keras.

"Semenjak Gina disini, anak anak kita semakin berani kepada orangtua. Dia sering membantah dan selalu menjawab. Semuanya karena racun dari Gina!" Sambung mbak Rara.

"Sudah lah, bagaimanapun dia adik dan kakak ipar kalian. Ibu nggak mau pusing Din.
Kalau boleh jujur, sebenarnya ibu juga benci sama sifat sok alimnya. Tapi apa boleh buat, dia itu wanita pilihan Hari," Ucap Ibu berusaha mencairkan suasana.

"Dek, ayo masuk ke kamar aja." Bisik mas Hari sembari menarik tanganku.

Aku termenung.

"Maaf ya, Dek. Mereka memang sensitif sekali kalau masalah ini. Kamu jangan khawatir, nanti juga marahnya hilang sendiri kok,"

Aku masih terdiam.

"Dek, daripada mikirin masalah tadi, lebih baik kamu layanin mas, yuk." Goda mas Hari, ia mengusap air mataku yang sudah mulai jatuh.

"Jangan sedih sayang, Mas janji kalau pekerjaan mas sudah selesai, kita pulang ke rumah. Nanti sebelum lebaran, kita temui Ibu, pasti ibu juga kangen sama kamu,"

Aku menoleh dan mengangguk.

Seperti biasa, di saat kesedihan atau kemarahan melandaku mas Hari seperti itu, membuat semua beban yang ada di hatiku terlupa untuk sementara waktu.

🍁

#Hari_pertama_puasa. [Sahur]

"Dimana yang lainnya, Mas?" Tanyaku.

"Mereka belum bangun, Dek!" Jawab mas Hari.

"Coba nanti aku yang bangunin ya, Mas!"

Aku langsung beranjak membangunkan mereka satu-persatu.

Tapi jawaban mereka hanya satu, "Sahur duluan aja, nanti menyusul."

Setelah itu aku langsung menghampiri mas Hari kembali.

"Katanya suruh sahur duluan, Mas!"

"Iya sudah, ayo kita sahur duluan aja, Dek."

🍁

Sudah hampir setengah bulan puasa, aku belum pernah menyantap sahur dengan Ibu, Bapak, Dini dan mbak Rara.
Entah mengapa dia tidak mau sahur bareng denganku.

Apa mereka masih marah dengan kejadian malam itu?

Apa mereka tidak puasa?

Tapi setiap menjelang berbuka, mereka selalu hadir paling awal menunggu adzan maghrib berkumandang.
Bahkan di siang harinya, mereka terlihat lesu seperti pada umumnya orang sedang berpuasa. Bahkan aku tak pernah melihat mereka membatalkan puasa sebelum waktunya.

🍁

"Tante, ternyata begini ya rasanya menahan haus sama lapar!" Radit mendekat.

Aku tersenyum.

"Kalau Radit sudah nggak tahan, buka duluan aja nggak apa apa. Kan ini udah mau jam 12 siang. Buat latihan mah, anak kecil gak apa apa kok." Jawabku.

"Ifa juga lapar, tapi mau puasa terus sampe  maghrib!" ucap Ifa ke arah Radit.

"Iya. Radit juga mau nunggu adzan maghrib aja ah, kaya Ifa!" Jawabnya bersemangat.

Aku tersenyum lagi, anak anak itu memang pintar.

"Sebenarnya tadi Radit di tawari makan sama mama, tapi Radit nolak. Eyang juga tadi lagi minum teh botol di kamar, tapi Radit nggak mau batalin puasa!" Radit menceritakannya dengan polos.

Jadi selama ini mereka hanya pura-pura di depanku?

🍁

"Kakek titua jatuh terpeleset dari kamar mandi!" Teriak nenek Wasri.

Kami semua terkejut, ibu mertuaku langsung menjerit histeris. "Lalu gimana keadaanya sekarang?"

Secepat kilat, ibu, Dini dan mbak Rara berlari. Aku mengikutinya dari belakang.
Tak lupa bapak mertua di minta agar cepat mengundang ki Jono ke rumah.

🍁

Bersambung.

TAKUT ORANG MATI? Where stories live. Discover now