TOM 22 [Licik] ☑️

512 28 0
                                    

"Karena aku adalah anak dari ki Jono,"

Aku terkejut mendengar pengakuan Kanaya, ternyata perempuan berjilbab syari itu adalah anak dari ki Jono.

"Ja---jadi ka-kamu anak dari ki Jono?
Tapi kenapa kamu malah menolongku?
Secara langsung kamu membongkar rahasia ayahmu sendiri," Tanyaku.

Apa jadinya jika aku tak bertemu dengan Kanaya, pasti sampai sekarang aku tidak akan tau ceritanya.
Kanaya mengangguk lalu tersenyum ke arahku, matanya mengembun dan berkaca-kaca.

"Ambil ini, Mbak."

Kanaya memberikan kalung dengan butir bening, sama seperti gelang pemberian Ibu penjual oseng Rebung saat itu.

"Kalung ini seper---tiii, ------"

Aku memandangi kalung yang di berikan Kanaya, kemudian mencocokan gelang pemberian Ibu penjual rebung.

"Apakah ada yang memberi gelang itu pada mbak Gina?" Tanya Kanaya, matanya berbinar. Ia mengusap air mata yang terjatuh.

Aku mengangguk, "Ini dari ibu penjual macam-macam lauk, ibu itu memberikan gelang ini, sebagai kenang-kenangan, katanya. Agar aku selalu mengingat ibu penjual rebung dari kampung."

Kanaya tersenyum, saat ini senyumnya merekah mendengar jawabanku.

"Itu artinya, Ibu memang meridhaiku untuk melakukan ini, aku senang menolongmu, Mbak. Aku sudah siap dengan semua resiko nya,"

"Apa maksud kamu, Kanaya? Kamu kenal dengan Ibu itu?"

Hening beberapa saat.

"Ka-na-ya? Kamu kenapa diam?"

"Sebenarnya Ibu itu sedang istirahat di peristirahatan yang damai dan tenang. Sepertinya, sebentar lagi aku akan menyusulnya, Mbak." Ucap Kanaya tersenyum kembali.

"Apa maksud kamu, Kanaya?"

Entah mengapa, aku mencemaskan mereka, terlebih lagi kata-kata Kanaya tadi, membuatku berpikir yang tidak-tidak.

"Itu tidak penting, mbak. Cepat pulang dan simpan baik-baik pemberian kami, setidaknya itu bisa membuka pagar ghaib.
Karena ki Jono sudah memasang pagar ghaib di rumah mas Hari, mereka sudah bersekongkol, sehingga tak mudah bagi orang yang sedang mencari mbak Gina,"

Istighfar berulang kali ku ucap, ternyata mereka memang selicik itu.

*

Setelah tak ada lagi hal yang di bicarakan, akhirnya aku pamit pulang. Sebelumnya, aku sudah memberikan kabar kepada kak Bayu melalui pesan whatsaap, memintanya untuk cepat menjemputku kemari.

🍁

"50% bunga nya. Apa ibu Dian sanggup?"

"Sanggup, Bu. Saya lagi butuh sekali uang itu!" Jawab ibu Dian, mereka sedang duduk bersama di teras.

Aku terus berjalan mendekati mereka dengan langkah pendek, kali ini aku takut menatap wajah ibu mertuaku.

"Gina, habis dari mana kamu?"

"Da--dari, eh habis jalan-jalan, Bu." Jawabku sedikit gugup.

"Temani bu Dian dulu, Gin. Ibu mau masuk sebentar."

Aku mengangguk dan duduk di sebelah bu Dian, sementara Ibu mertuaku masuk ke dalam rumah.

"Ibu kenapa menangis?" Tanyaku.

"Anak Ibu sakit, Neng. Anak ibu harus segera di bawa ke rumah sakit, tapi ibu nggak punya biaya." Jawabnya terisak.

"Itu yang membuat Ibu berani berhutang dengan bunga?" Tanyaku lagi.

TAKUT ORANG MATI? Where stories live. Discover now