Part 1

6.5K 681 68
                                    


Alma mendorong keluar pintu minimarket dengan punggungnya. Kedua tangannya tampak sibuk memegangi sebuah cup mie instan dan beberapa bungkus sosis siap makan. Ada sebotol air mineral yang dia selipkan di lengannya, sedang tas tangannya dia gantung di pergelangan tangan.

Setibanya di sebuah meja di depan minimarket, Alma meletakan seluruh barang bawaannya ke sana, menarik kursi untuk dia duduki. Bibirnya tersenyum senang ketika matanya menemukan asap mengepul dari cup mie instan, seolah sengaja memanggilnya.

Alma meraih garpu plastik, membuka bungkusnya, lalu mulai menyantap mie itu dengan wajah penuh bahagia. Matanya melirik ke arah tiga bungkus sosis. Tidak boleh dibiarkan, pikirnya. Maka setelah itu dia mengambil satu sosis dari atas meja, membuka bungkusnya lalu menyantapnya dengan wajah penuh kepuasan.

Gadis berusia dua puluh empat tahun itu tampak asyik dengan semua makanan yang sama sekali tidak sehat di hadapannya itu. Bibirnya bahkan tersenyum senang mana kala menyuapkan mie ke dalam mulutnya. Rambutnya yang tergerai sesekali jatuh ke sisi depan tubuhnya, membuatnya berdecak lalu mengibaskan rambutnya ke belakang. Makan mie instan dimalam hari di pinggir jalan, dimana banyak sekali kendaraan berlalu lalang, adalah hal yang paling menyenangkan bagi Alma setiap kali dia pulang bekerja.

Tidak peduli di rumahnya sudah tersaji masakan lezat yang sudah pasti bukan masakan Mamanya, Alma tetap memilih makan di luar, di tempat seperti ini.

Seharian sibuk mengurusi kasus, dimulai perceraian, perebutan warisan, bahkan hingga kasus-kasus besar lainnya, terkadang membuat Alma merasa mual. Tapi mau bagaimana lagi, itu adalah pekerjaannya. Lagi pula, berkat pekerjaannya itu lah Alma mendapatkan pundi-pundi uang yang bisa dia banggakan di hadapan lelaki si pencetak uang menyebalkan itu.

Abizar Ilyas. Papanya.

Alma mencintai Papanya, dia bahkan sangat kagum pada keahlian yang Papanya miliki. Hanya saja, Papanya itu senang sekali menganggap remeh segala hal di sekelilingnya, dan tabiat buruknya itu adalah membanggakan dirinya serta semua yang dia miliki.

Keluarga, uang, pekerjaannya. Seolah-olah Papanya itu adalah manusia paling hebat sedunia.

Hal itu lah yang dulu sering kali membebani Alma, membuatnya takut jika setiap hal yang dia lalukan akan selalu ada bayang-bayang kehebatan Papanya. Maka itu, dibandingkan mengurus perusahaan IT milik Papanya yang siapa pun tahu betapa hebatnya perusahaan itu, Alma lebih memilih menjadi seorang pengacara. Meskipun dia masih merupakan bawahan dari seorang pengacara besar yang ditugaskan membantu mengurusi kasus-kasus klien mereka.

Di awal karirnya, Alma sempat merasa rendah diri. Gajinya tidak seberapa, pekerjaannya belum bisa dia banggakan. Alma hampir saja putus asa, Tapi, Alma masih ingat ketika Papanya datang menghampirinya, duduk berdua dengannya. Papanya tidak menanyakan apa yang terjadi pada Alma, padahal wajah Alma sangat murung kala itu. Papanya hanya mengatakan sesuatu yang membuat Alma terpaku.

"Kamu tahu nggak, siapa musuh terbesar kita di dunia ini?"

Ketika itu Alma menggelengkan kepalanya.

"Bukan orang yang membenci kita, apa lagi orang terdekat kita. Tapi, musuh terbesar di dunia ini adalah diri kita sendiri. Kamu tahu kenapa? Karena rasa ragu. Ragu jika kita akan merasa lelah, ragu jika kita akan gagal, ragu jika kita akan membuat masalah. Padahal, dilakukan saja juga belum. Dulu Papa juga gitu sih, ragu nggak bisa hidup tanpa orangtua, karena hidup itu keras, jadi mustahil kalau Papa bisa hidup tanpa mereka. Tapi... coba lihat Papa sekarang?"

Alma hanya mengernyit ketika Papanya tersenyum bangga padanya. Sebuah kebanggan untuk dirinya sendiri. Sudah biasa.

"Papa pernah merasa malas?"

MenungguWhere stories live. Discover now