Part 14

326 68 2
                                    

Jam makan siang sudah berakhir sejak sepuluh menit lalu. Tapi Alma masih belum melihat Indra di mana pun. Sejak pagi tadi, Indra jadi sangat pendiam. Wajahnya selalu muram setiap kali Alma perhatikan. Maka saat tidak menemukan Indra di jam seperti ini, Alma sedikit cemas.

                Berjalan ringan mengelilingi seluruh sudut kantor, Alma berusaha mencari keberadaan Indra. Sesekali dia melirik kubikel beberapa karyawan lain, berharap menemukan Indra di sana, sedang ngobrol atau bersantai.

                Tapi ternyata Indra tidak ada di mana pun.

                Kalau begitu... hanya ada satu tempat yang tersisa.

                Alma melangkah pasti menuju tangga darurat. Tebakan Alma benar, Indra ada di salah satu anak tangga, duduk memunggungi Alma dengan kepulan asap di sekitar tubuhnya.

                Tanpa sepatah kata, Alma menghampiri. Dia duduk di samping Indra, merentangkan kaki ke bawah agar kalau ada yang melewati mereka nanti, mata mereka tidak bisa melihat sesuatu di balik roknya.

                Sebenarnya sejak melihat Indra merokok di sana, Alma tahu ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi di hidup lelaki itu. Tidak perlu menebak, Alma tahu pasti tentang apa. Tapi karena Indra tetap bungkam meski tahu ada Alma di sana, itu artinya... ini benar-benar berita buruk.

                "Lo udah makan tadi?" tanya Alma. Indra hanya menggelengkan kepala. Ekor mata Alma melirik sebungkus rokok yang terbuka, tergeletak di dekat kaki Indra. Isinya sudah habis beberapa. Jadi Indra hanya duduk sambil merokok sejak tadi, pikir Alma.

                "Gue mau resign."

                Kepala Alma menegak dengan cepat, matanya nyaris melotot. "Lo... mau apa?"

                Indra membuang asap dari mulutnya. "Resign, Al. Hari ini mau bilang tentang itu ke Papa."

                Bukan hanya kali ini Alma mendengar soal Resign dari mulut Indra. Dia bahkan sudah jenuh mendengarnya. Tapi kali ini Indra terlihat serius tak main-main. "Udah benar-benar dipikirin?"

                "Udah." Sorot mata Indra terlihat kosong, wajahnya pun sangat muram. "Capek, Al. Tempat ini bukan tempat yang gue mau. Gue nggak suka, gue nggak ngerti, tapi gue nggak boleh melakukan kesalahan di sini."

                Saat tawa getir Indra terdengar, Alma menghela berat.

                Dia tahu apa yang Indra maksud. Indra tidak menyukai pekerjaannya. Menjadi Pengacara bukan lah impiannya. Tapi Papanya selalu menuntut Indra untuk bisa menjadi seperti dirinya.

                Indra selalu dibanding-bandingkan dengan saudara-saudaranya. Dua saudaranya telah menjadi Jaksa, sisanya hanya Indra. Papanya berharap Indra bisa menjadi penerusnya nanti.

                Tapi sayang, Indra justru tidak memiliki minat di bidang itu. Setiap kali Indra memberontak, maka akan terjadi pertengkaran hebat di rumah mereka.

                Selama ini Indra sudah mengalah. Selalu mengalah. Dia berusaha menjalani apa yang Papanya mau. Tapi hari ini... Alma tahu kalau Indra sudah tiba diambang batas kesabarannya.

                "Tapi lo tahu, kan, imbasnya?"

                "Iya."

                "Udah siap sama semua itu?"

                "Siap nggak siap, ya harus gue hadapi walau yang paling terburuk sekali pun."

                Alma mengangguk-angguk. "Termasuk kalau lo di usir dan nggak boleh—"

MenungguWhere stories live. Discover now