Part 16

484 82 4
                                    

Duduk sambil memangku satu buket bunga, Arka mengamati sekitarnya. Malam ini restoran Elena terlihat sangat ramai, membuat Arka tersenyum kecil menyimpan rasa bangga atas pencapaian Elena.

                Gadis itu memulai semua bisnisnya dari nol. Memang ada campur tangan nama besar Papanya, tapi Elena terjun langsung untuk membesarkan restoran ini.

                Arka melihat Elena muncul dari kejauhan. Dia segera berdiri, menyambut Elena dengan senyum tipis. "Hai." Sapa Arka.

                Elena tersenyum, tapi tidak selepas biasanya. "Hai, Arka."

                Senyum Arka sedikit menyurut. Arka tahu, Elena pasti marah karena masalah kemarin. Gadis ini seperti menghilang di telan bumi selama satu minggu. Arka tidak bisa menghubungi Elena, semua pesan yang Arka kirim padanya pun tidak pernah di balas.

                Kecuali tadi siang. Ketika Arka mengirim sederet kalimat putus asa, baru lah Elena akhirnya menyuruh Arka menemuinya di tempatnya.

                "Buat kamu." Arka menyerahkan buket bunga itu untuk Elena.

                Elena tidak langsung mengambilnya, dia memandang buket bunga itu lekat sejenak, menghela napas lalu menerima. "Terima kasih." Ucapnya pelan. "Kamu udah makan?"

                Suara lembut Elena terdengar merdu. Tapi pertanyaan yang dia lontarkan justru membuat Arka terpaku dengan penyesalan. Padahal Arka sudah membuat Elena kecewa, tapi gadis itu masih saja memberi perhatian padanya.

                "Kamu mau makan?" Arka balik bertanya.

                "Nggak. Tapi kalau kamu—"

                Arka menggenggam satu tangan Elena, membuat gadis itu terhenyak. "Ikut aku sebentar, ya." ucapnya lembut. Elena hanya diam sembari memandang genggaman Arka. Saat Arka menariknya keluar dari sana dan masuk ke mobilnya pun, Elena masih saja bungkam.

                Di dalam mobil itu, mereka hanya duduk saling diam. Elena tertunduk dalam, memandang bunga-bunga yang berada di atas pangkuannya. Sedang Arka menatap lurus ke depan, seperti orang bingung.

                "Aku..." Arka memulai lebih dulu. "Aku minta maaf. Waktu itu aku panik. Alma sakit, dia ada di rumah sakit, Alma nggak pernah mau ke rumah sakit selama ini, dan kalau dia ada di sana, itu berarti—"

                "Arka," Elena menghembuskan napas. "kalau kamu pikir aku marah karena kamu pergi," dia menggeleng lemah. "aku nggak marah. Aku tahu kamu pasti panik. Aku sendiri pun juga panik waktu itu. Tapi... memangnya kamu nggak bisa ya, kasih kabar setelah itu?"

                Arka menunduk bersalah.

                "Aku sengaja nggak telepon kamu, karena aku takut ganggu. Mungkin kamu lagi fokus ngurusin Alma, mungkin keadaan Alma benar-benar serius. Jadi aku menurut aku sebaiknya aku tunggu sampai kamu yang telepon. Tapi selama aku di sana..." Elena tersenyum patah. "kamu nggak pernah kasih kabar."

                Elena masih ingat bagaimana perasaannya ketika Arka meninggalkannya sendirian di Bandara. Sepanjang perjalanan menuju Las Vegas, Elena seperti mati rasa. Tapi dia berusaha mengerti. Alma sedang sakit, sebagai sahabat, Arka pasti sedang panik.

                Lalu setibanya di sana, Elena merasa gusar. Dia ingin menghubungi Arka, tapi takut mengganggu. Jadi dia memilih menunggu. Tapi, hingga konser selesai pun, dan hari kepulangan Elena tiba, Arka sama sekali tidak memberi kabar.

                Saat itu Elena merasa seperti dicampakkan. Arka menghilang tanpa kabar, padahal dia tahu di mana Elena berada. Lalu rasa cemburu itu muncul, Elena tidak bisa mencegah dirinya yang mulai membandingkan diri.

MenungguWhere stories live. Discover now