BAGIAN 24. KESEPIAN

3K 400 1
                                    


Pagi hari disaat para ayam belum berkokok membangunkan para manusia. Udara tentunya masih terasa dingin saat ini. Jendela kamar yang masih terbuka membuat angin malam kini masuk kedalam. Tirai-tirai jendela sedikit berterbangan karena terkena angin dari luar.

Jam masih menunjukkan pukul tiga dini hari, tentunya waktu ini masih digunakan kebanyakan orang untuk tidur dan pergi ke alam mimpinya. Namun berbeda dengan seorang pemuda yang terduduk di lantai sampai memegangi kedua lututnya. Lelaki itu terbangun sudah lebih dari sepuluh menit yang lalu.

Udara dingin yang masuk kedalam mampu membuatnya sedikit menggigil. Rambutnya bahkan kini sudah terlihat acak tak terbentuk. Hujan gerimis ternyata masih belum berhenti sejak beberapa waktu tadi, menambah aura dingin yang makin menyeruak di Indra peraba.

Pemuda itu meringkuk ketakutan, tak tahu apa yang tengah ia lakukan tadi hingga mampu membuat kulitnya terasa sakit bukan main saat menyadari banyak sekali darah yang bercucuran dari sana. Bahkan kini keramik putihnya juga ikut terkena bercakan noda merah yang berasal dari tubuhnya.

Kepalanya pusing bukan main, sedari tadi sama sekali tak kunjung sembuh membuat lelaki itu harus bisa menahan sakit sampai esok pagi. Untung saja dadanya tidak kambuh disaat seperti ini.

Entah apa yang akan ia lakukan di pagi hari seperti ini. Sungguh ingin sekali pemuda itu berteriak memanggil nama ayah untuk menemaninya saat ini juga. Ia merasa ketakutan apalagi disaat udara semakin terasa dingin seperti ini.

Entah mengapa ia merasa ada seseorang yang mengendalikan tubuhnya beberapa saat yang lalu hingga tak membuatnya sadar apa yang tengah ia lakukan. Bayangan sebuah pukulan yang diberikan orang tuanya kini terlintas di benaknya membuat pemuda itu menjadi lebih ketakutan dibanding sebelumnya.

Suara teriakan saat dirinya di beri hukuman yang mempermainkan fisik mampu membuat kepalanya semakin terasa pusing. Pemuda itu sudah terlebih dahulu mengeluarkan air matanya. Lelaki itu menyembunyikan kepalanya diantara kedua lutut yang ia peluk.

Bahunya bergetar karena tangisnya yang semakin menjadi. Jundi bahkan tak tahu apa yang membuat dirinya menangis sampai seperti ini. Wajahnya pun sudah terlihat pucat.

Kamar tempatnya tidur sudah berantakan, seperti ada seseorang yang sengaja melakukannya. Manik matanya melirik ke sudut demi sudut ruangan untuk melihat apakah ada orang yang bisa ia mintai pertolongan saat ini. Bahkan pemuda itu juga tak tahu pertolongan apa yang ingin ia mintai. Untuk sekedar melangkah saja ia tak berani.

"Ayah..."

"Mama..."

Bibirnya bergetar saat mengucapkan panggilan tersebut, walaupun ia yakin tak akan ada orang yang mendengar rintihan lirihnya itu. Kepalanya kembali ia sembunyikan diantara kedua lutut. Pemuda itu memilih untuk memendam tangisnya disana.

Suara hujan semakin terdengar, waktu juga semakin berlalu. Jundi ingat jika ada sebuah obat yang beberapa hari lalu diberikan dari ayah. Pemuda itu ingin sekali berdiri dan mencari keberadaan obat tersebut, namun karena rasa takutnya semua terurung begitu saja.

Biarlah untuk pagi ini saja ia melewati hal seperti ini sendiri.

"Tenang... Dua jam lagi...."

Karena tak ingin membuat pikiran negatifnya bermunculan, pemuda itu berniat untuk segera tidur walaupun dengan posisi yang kurang mengenakan seperti ini. Luka jahitan kepala yang tertumpu pada lutut mampu membuat nya terasa sedikit perih.

Hawa seram semakin terasa saat tetesan demi tetesan darah tak kunjung berhenti dari pergelangan tangannya. Entah sedalam apa luka goresan di sana yang membuat darah dan rasa sakit tersebut tak kunjung berhenti. Belum lagi pusing yang tak kunjung menghilang dari kepalanya.

About Jundi || Renjun [END]✔Where stories live. Discover now