Bonchap💫

7.9K 594 53
                                    

___

Hari demi hari sudah Nadil lalui, tanpa sosok teman yang dulu selalu bersama. Lelaki itu kini tengah berada didalam kamarnya sambil melamun, menatap sebuah roomchat nya dengan sang sahabat yang sudah pergi terlebih dahulu.

Rasanya sepi, mengikhlaskan sangatlah sulit baginya. Tidak heran jika Nadil menangisi temannya bukan hanya satu kali disetiap malam.

Terasa begitu cepat. Semuanya terasa singkat.

"Gue gak akan pernah nyakitin tubuh yang udah dikasih sama tuhan"

Kalimat itu sering sekali terngiang dikepala Nadil bak kaset rusak. Kalimat yang dibicarakan saat ia tengah mencari sahabatnya yang sedang membeli makanan.

Dan tidak disangkanya ternyata itu adalah kali terakhir Nadil melihat Jundi Didunia. Bahkan ia juga tidak sempat menemani sang sahabat di peristirahatan terakhirnya. Dan ternyata itu semua sudah menjawab firasat buruk di hatinya.

Disini bukan hanya dia saja yang merasa kehilangan, melainkan ketiga temannya pun juga ikut merasakan duka yang terdengar tiba-tiba. Bahkan saat mendengar cerita jika temannya itu nekat bunuh diri walaupun bukan atas kemauannya, Nadil sama sekali tidak bisa percaya begitu saja.

Jundi yang dia kenal sangatlah kuat, atau mungkin hanya sampai hari itu saja temannya sanggup untuk bertahan, dan memilih mengakhiri semuanya.

"Cepet banget perginya, Jun. Bahkan sampe gak sempet ijin sama gue dulu"
Pandangan Nadil masih menatap kosong kearah langit-langit kamar. Sudah tidak di sadari ini sudah ke tujuh hari terakhir kali temannya pergi.

Jujur saja Nadil ingin sekali menjenguk Jundi kepemakamannya, namun ia tidak bisa sanggup jika harus sendirian kesana sambil menatap sebuah gundukan tanah yang masih basah.

Nadil tidak akan tega melihat hal tersebut.
Tidak jarang temannya pernah pergi kedalam mimpinya beberapa kali terakhir ini. Mengucapkan kalimat yang waktu itu tidak sempat ia lisankan.

___

Butuh waktu berhari-hari mereka untuk bisa kembali melihat sebuah ruangan yang berbau anyir tersebut. Dilantai masih ada sebuah bercakan darah yang terlihat, mama tidak tega untuk membersihkannya.

Disana juga terlihat dua buah piala yang sudah diperjuangkan oleh sang anak sendiri, yang bahkan tidak pernah ia anggap dan banggakan.

Nuansa ini tidak ada yang berbeda. Semua barang masih berada ditempatnya. Buku pelajaran yang berada diatas kasur, tas hitam yang masih berada dilantai. Dan juga sebuah ponsel yang mungkin saja sudah lowbat karena kehabisan daya.

Bayangan disaat sang anak menangis kini terlintas dibenaknya. Disaat malam hari Jundi mengungkapkan jika ia sering sekali kesakitan. Suara tolakan yang keluar dari mulut sang anak saat selalu ingin diajak pergi untuk pemeriksaan. Semuanya masih terlihat jelas dibenaknya.

Di ruangan ini sama sekali tidak ada sebuah foto kenangan yang diambil oleh sang anak. Tidak ada satupun gambar yang dapat ia abadikan.

Sudah berhari-hari juga banyak sekali orang-orang yang datang kerumahnya untuk mendoakan sang anak. Semuanya sudah tidak dapat lagi diubah, semua kenangan sudah tidak bisa lagi ia ciptakan kembali karena putranya sudah pergi ke sebuah keabadian.

Bercakan darah yang sudah kering terlihat di lantai yang berwarna putih. Mungkin kamar ini akan menjadi sebuah gudang yang akan menyimpan banyak sekali kenangan.

Tangannya bergerak untuk mengambil sebuah piala yang sudah terdapat beberapa debu disana. Piala yang mati-matian didapatkan sang anak hanya untuk membanggakan kedua orang tuanya kini hanyalah sebuah benda yang sudah berdebu ditinggalkan pemiliknya.

Semua hanyalah tinggal ke andaian saja yang bisa ia ucapkan. Jika waktu itu dirinya tidak terkalut emosi dan percaya dengan apa yang Jundi bicarakan, mungkin sampai hari ini putranya itu masih ada. Setiap paginya Jundi akan berangkat kesekolah dan juga mengucapkan kalimat salam terlebih dahulu.

Disaat dulu sang anak meminta dibelikan tas, ayah hanya menjawab dengan kalimat yang sama.

Ayah macam apa dia sampai tidak dapat mencukupi kebutuhan putranya sendiri?

Setelah sekian lamanya tidak melihat penampakan dalam kamar, Jeevan kini diam-diam berada di balik pintu melihat gerak-gerik sang ayah yang tengah menatap barang-barang indah itu. Jujur saja ia juga masih tidak berani untuk pergi masuk kedalam mengingat bagaimana sang kakak membunuh dirinya sendiri tepat di hadapannya.

Haruskah ia merasa bersalah saat ini? Tapi semuanya telah terlambat. Tidak ada lagi yang bisa diubah.

Didalam sana ayah menitikkan air matanya ketika melihat sebuah piagam dan juga medali yang terletak diatas meja. Bertuliskan kalimat selamat dan juga nama sang anak yang terlihat disana. Mengingat betapa bangganya Jundi saat mampu meraih juara dua olimpiade saat itu.

Tapi dirinya hanya membiarkan sang anak saja. Dirinya sama sekali tidak mengucapkan sepatah kalimat selamat sama sekali. Entah apa yang membuatnya saat itu sangat Kelu untuk mengucapkan kalimat bangga kepada putranya.

Dan jika diingat kembali, ayah lah yang membuat sebuah penyakit tumbuh ditubuh sang anak. Dengan banyaknya pukulan yang ia berikan kepada putranya beberapa tahun yang lalu hingga membuat dirinya ketakutan dan berakhir memiliki riwayat penyakit jiwanya tumbuh.

Bukan hanya itu, karena kecelakaan yang terjadi beberapa Minggu lalu hingga membuat sang anak mengidap penyakit jantung yang mampu membuatnya bungkam tidak percaya. Saat mengetahui hal itu ia merasa sangat gagal untuk memperhatikan kedua putranya.

Mau seburuk apapun Jundi, ia tetaplah anak sulung dari keluarganya dan juga sebuah darah daging yang berasal dari tubuhnya.

Bahkan sekali itu ia mampu memperlakukan putranya sangat tidak manusiawi.

Jundi selalu meminta agar ia tidak diperiksa karena memang benar kendala biaya yang cukup besar. Jika saja waktu itu ayah memilih untuk tidak mendengarkan ucapan sang anak untuk pemeriksaan jantungnya, mungkin semuanya sudah terlihat jelas bagaimana perkembangan penyakit putranya didalam sana.

Dan karena kejadian sewaktu itu membuatnya gagal menjadi sosok ayah. Tidak akan ada lagi panggilan hangat dari putra sulungnya.

Sedangkan Jeevan sudah tidak memiliki pelukan hangat seorang kakak yang selalu tulus kepadanya. Panutan pertama untuknya telah pergi dahulu kepangkuan sang pencipta.

Pemuda itu kemudian berjalan pergi menuju ke dalam kamarnya. Beberapa hari ini ia sangat tidak bersemangat untuk menjalani hari-harinya seperti biasa, ternyata sepengaruh itu kepergian sang kakak. Rumah ini pun akan terlihat semakin sepi.

Tidak ada yang bisa diubah. Nyatanya Didunia ini memang tidak ada yang sempurna. Tentang kesalahpahaman yang mampu membuat semua keadaan langsung berubah. Hanya ada tangisan yang mengiringi di belakang.

Suara salam yang tidak akan lagi terdengar dipenjuru rumah, tidak ada lagi seseorang yang teguh mampu ia lihat. Sosok kakaknya telah pergi meninggalkan banyak sekali luka, mengikhlaskan memang jalan terbaik, namun hal itu sama sekali tidak mudah dan juga akan membutuhkan waktu yang lama untuk mengubah suasana rumah penuh tangis ini menjadi setenang dahulu.

Ia hanya tidak menyangka jika kakaknya akan pergi secepat ini. Bahkan diwaktu dirinya mengetahui keadaan kakak yang sudah memiliki banyak sekali riwayat penyakit. Jika saja Jundi lebih menceritakan semuanya kepadanya mungkin ia bisa menjadi sandaran ketiga setelah kedua orang tuanya.

Kalimat rindu sama sekali tidak cukup untuk mengisi hatinya seperti dahulu. Dan juga tidak akan bisa mengembalikkan sang kakak yabg sudah pergi ke pangkuan sang pencipta.

Mengingat banyak sekali kenangan Jundi saat bersamanya, membelikan dia makan, dan juga disaat dimana sang kakak memberikan senyuman khas nya.

Lagi dan lagi sebuah rintikan air mata kembali turun dari manik indah itu. Kenangan kebersamaannya dengan sang kakak berputar dikepala, membuat dirinya kembali rindu dan rindu dengan sikap kakaknya.


Dan kini semuanya sudah tidak bisa lagi diubah. Lelaki dengan senyuman itu telah pergi dahulu di pangkuan sang pencipta, melepaskan semua beban yang ia tanggung sendirian selama ini.

Tepat diumur yang menginjak ke 17 tahun...


About Jundi || Renjun [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang