7

5.2K 1.8K 202
                                    

Tidak biasanya aku pulang sore. Saat mobil memasuki pekarangan kulihat Athena baru turun dari taksi sambil membawa sebuah tas kecil. Sebenarnya tidak ingin menyapa tapi entah kenapa kakiku berhenti melangkah dan menunggunya. Beberapa hari tidak bertemu dia semakin cantik. Wajahnya seperti boneka, putih dan bersih. Dia mendekat, bola mata coklat itu kini terlihat jelas.

"Kamu dari mana?"

"Dari rumah sakit pak, gantian dengan perawat menjaga ibu."

"Bagaimana keadaan mami?"

"Sudah lebih baik, katanya besok boleh pulang."

"Kamu naik kendaraan umum, kenapa tidak minta dijemput?"

Dia tidak menjawab hanya menunduk. Kulangkahkan kaki masuk ke dalam rumah dia mengikuti dari belakang.

"Kamu kenal mami di mana?"

"Di rumah yang Di Pulo Mas. Ibu Deswita berlangganan katering pada ibu saya."

"Sudah selesai sekolah?"

"Sudah pak."

"SMU? SMK?"

"Komunikasi."

Dia melirikku sejenak lalu kembali berjalan.

"Kenapa sarjana malah memilih jadi asisten pribadi?"

"Saat baru lulus ibu menawarkan pekerjaan langsung saya terima."

Suaranya terdengar halus dan lembut. Kupastikan dia bukan tipe perempuan yang tidak akan berteriak saat merasakan sebuah kenikmatan. Tapi desahan diantara bibir yang digigit pasti sanggup membuatku on dalam waktu cukup lama.

"Kenapa tidak memilih kerja kantoran padahal kamu punya kesempatan untuk itu?"

"Mana yang cepat saja, saya harus bantu orang tua."

"Kamu lebih mirip pengasuh mami dari pada seorang asisten pribadi." ucapku sambil meninggalkannya.

Kini tak terdengar ada langkah yang mengikuti dari belakang. Kutoleh sebentar dia mematung di sana. Kutunggu, namun akhirnya dia memilih jalan berbeda. Aku tidak harus selalu setuju dengan pilihan orang lain bukan? Itu yang terjadi ketika seseorang menganggap bahwa uang adalah tujuan. Bekerja apa saja asal dapat uang. Bagaimana kalau nanti mami tidak ada? Pengalaman bekerjanya sebagai asisten pribadi pasti tidak bisa dihitung sebagai pengalaman. Aku tahu dia cerdas dan pintar, belum lagi ditambah kecantikan dan tubuh yang indah. Kupastikan kariernya akan melesat.

***

Kutatap sosok tinggi yang berjalan meninggalkanku. Rasanya ada yang salah dalam pikirannya. Memangnya kenapa kalau jadi asisten pribadi? Toh, gajiku jauh lebih banyak daripada pekerja kantoran biasa. Lagi pula bukannya bersyukur ada yang menemani ibunya 24 jam, malahan melecehkan pekerjaanku. Aku tahu dia punya segalanya jadi tidak harus mencari uang. Bisa menerapkan ilmu dibangku kuliah dalam pekerjaan. Bisa punya relasi dan jaringan yang menunjang pekerjaannya. Tapi dia bukan aku! Ayah hanya pegawai biasa sementara ibu punya katering kecil-kecilan. Mereka sudah tua dan mulai tidak bisa bekerja produktif. Wajar kan, sebagai anak yang berbakti membantu orang tua? Memang dasar tidak punya sopan santun. Tapi kalau dipikir, sikapnya pada Ibu Deswita saja begitu apalagi padaku?

Aku tidak pernah dididik untuk memperlakukan orang tua seperti dia. Bayangkan empat hari di rumah sakit tak sekalipun dia membesuk ibu. Kalaupun bertanya cuma melalui asisten pribadinya. Mungkin dia juga tidak punya nomorku. Jadi jangan kaget kalau suatu saat ditanya orang dia tidak akan tahu apa-apa. Sekarang malah mengatakan kalau aku mirip pengasuh ibunya. Hanya orang gila yang bisa berkata seperti itu.

Kubalikkan tubuh menuju kamar karena seharian letih berada di rumah sakit. Aku hanya tidak ingin membalas kalimatnya. Apapun yang terjadi dia adalah putra Bu Deswita. Entah kesalahan apa yang diperbuat ibu sehingga anaknya begitu membencinya. Tapi keluarga ini memang sedikit aneh. Teringat saat ayah sakit, begitu banyak keluarga yang mengunjungi. Tak henti-hentinya orang lain bertanya tentang keadaannya.

MASIHKAH KAU PERCAYA CINTA ITU ADA?/Versi Lengkap Tersedia Di PLAY BOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang