15

5.3K 1.9K 153
                                    

Malam harinya selesai menyiapkan Mami untuk tidur, kami kembali berbincang.

"Kalau saya nanti tidak ada, apakah kamu akan langsung pergi dari rumah ini?"

Sebuah pertanyaan yang membuatku bingung. Kenapa tiba-tiba bertanya tentang ini? Kenapa Mami seolah melupakan ketidaksukaan Avram padaku?

"Maksud Mami?"

"Apakah kamu akan kembali ke rumah orang tuamu?"

"Kemungkinan besar, ya."

"Kamu tidak ingin mencoba mempertahankan rumah tangga kalian?"

Rasanya tak percaya kalau Mami mengucapkan kalimat itu. Aku mencoba mengelak dengan sopan.

"Kita sama-sama tahu mi, kalau Avram tidak menginginkan aku. Tidak mungkin mempertahankan sendiri."

Matanya mulai berkaca kembali, dan kini Mami menangis. Kuserahkan tisyu padanya. "Terima kasih. Saya sudah memberitahukan tentang kamu pada adik-adik saya. Termasuk alasan kenapa tidak ada pesta pernikahan. Mereka paham posisi saya, beruntung kalian sudah pernah bertemu saat kita ke Singapura. Itu akan memudahkanmu mengambil keputusan tentang saya kelak."

"Kenapa Mami bicara seperti ini?"

"Sebagai manusia kita tidak pernah tahu tentang batas usia. Kita tahu bagaimana pikiran Avram tentang saya. Tidak mudah mengubah pendapatnya. Setidaknya ada yang mengurus pemakaman saya nanti jika dia tidak bersedia."

"Mami bisa membicarakan apapun denganku. Tapi jangan berpikiran buruk seperti itu."

Mami kemudian mengangguk pelan. "Sebagai ibu, saya memiliki kesalahan yang begitu besar padanya. Takkan bisa dihapus begitu saja. Dia akan ingat bahkan sampai kapanpun. Avram sebenarnya baik, hanya saja dia membangun tembok yang terlalu tinggi agar orang lain tidak bisa mendekat. Dia akan menciptakan jarak pada siapapun. Apa kamu menyadari hal itu?"

Aku menggeleng, karena memang tidak pernah dekat dengannya.

"Saya khawatir jika kelak dia sendirian tanpa teman. Siapa yang akan mengurusnya? Kita tahu dia memiliki orang-orang yang bekerja padanya. Tapi mereka dibayar untuk melakukan itu. Bukan dari hati."

Mami diam sejenak sambil menatapku, "Hidupmu memang harus berjalan terus. Tapi bolehkah saya meminta agar kelak jika ada waktu kamu melihat keadaannya sesekali? Saya khawatir jika dia terbaring sakit sendirian. Itu akan sangat menyakitkan buatnya. Entahlah sebagai ibu saya sering kali berpikir tentang sesuatu yang tidak perlu."

"Belum tentu dia mengijinkan aku mendekat Mi. Meski sebenarnya aku tidak masalah. Apalagi kalau pasangannya cemburu, nanti jadi nggak enak."

"Ya, seandainya kamu benar-benar pergi dia akan menutup seluruh akses untukmu. Avram tak berbeda jauh dari Papinya. Kamu berhak bahagia lupakan pembicaraan ini. Tidurlah sudah malam. Besok kamu harus bangun pagi."

Kubenahi selimut Mami, lalu kembali ke kamar. Rasanya banyak sekali rahasia keluarga yang aku tidak tahu. Kubaringkan tubuh sambil berusaha memejamkan mata. Tapi sayang tidak bisa. Kuintip ke arah taman, tidak ada Avram di sana. Mungkin dia belum pulang atau sudah, tapi berada di kamar. Tak juga bisa tidur kupilih membaca novel. Keasyikanku terganggu dengan bunyi bel dari kamar Mami.

Bergegas aku ke sana. Wajahnya sangat pucat aku segera panik. Mulutnya miring dan terlihat sulit bicara. Padahal beberapa jam lalu Mami masih baik-baik saja. Segera kuhubungi dokter pribadinya, sayang tidak diangkat. Buru-buru menghubungi Bu Imah untuk menjaga Mami, sementara aku berniat memanggil Avram. Setengah berlari menuju kamarnya dan mengetuk. Namun yang membuka pintu adalah Bu Zea yang memakai gaun tidur transparan dan sangat terbuka. Aku jadi malu menatapnya, bagaimana kalau yang mengetuk kamar adalah pegawai laki-laki?

MASIHKAH KAU PERCAYA CINTA ITU ADA?/Versi Lengkap Tersedia Di PLAY BOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang