24

6.5K 2K 252
                                    

Pak Hutasoit baru saja selesai membacakan isi surat wasiat Mami. Kami masih berada di ruang kerja Avram. Isinya membuatku ingin menangis. Mami mewariskan seluruh sahamnya padaku. Dan Avram menerima seluruh benda tak bergerak lainnya. Ada beberapa persyaratan yang mengikuti. Salah satunya bahwa saham itu kelak akan kuwariskan oleh anak-anak kami. Mami ingin agar hidupku terjamin. Juga keinginan untuk mensejahterakan keluargaku. Sebuah permintaan yang membuatku berada dalam dilema. Seolah Mami ingin agar aku tetap mendampingi putranya meski hanya sebagai pajangan. Aku tidak mungkin sanggup menjadi Mami. Kami adalah dua orang yang berbeda. Pernikahan kami hanya menjadi topeng Avram di depan orang banyak. Sama seperti yang dilakukan Papinya. Kalau memang berniat menikahiku secara tulus, tidak mungkin dia masih memelihara perempuan lain. Di depanku pula! Tapi tidak mungkin kuprotes di depan pengacara. Tanpa suara kami menandatangani dokumen. Begitu Pak Hutasoit dan rekannya keluar, Avram mengunci pintu.

"Kenapa dikunci?" tanyaku.

"Kita harus bicara berdua saja."

"Aku rasa juga begitu tapi kamu nggak perlu mengunci pintu. Aku nggak akan kabur."

"Kamu duluan."

"Aku tidak menginginkan saham itu. Kukembalikan pada kamu sebagai ganti biaya pengobatan orangtuaku selama ini."

Ia menatap lekat lalu tersenyum kecil. "Lalu?"

"Aku meminta kembali kebebasanku." jawabku sambil menatapnya takut.

"Kamu yakin?"

"Ya."

Dia kemudian berdiri dan menatap ke arah kolam renang pribadinya. Sebenarnya kondisi Avram belum bisa dikatakan pulih. Bahkan dokter menyarankan agar dia melakukan pemeriksaan kesehatan lebih lanjut, sayang dia menolak.

"Sesuai keinginan Mami, setelah kita punya anak aku akan membebaskan kamu. Karena jika saat itu tiba pemilik saham yang sebenarnya sudah ada. Kamu boleh pergi ke mana saja, tapi saham itu akan tetap menjadi milik anak-anak kita. Kamu akan tetap hidup layak dari hasil pembagian deviden."

"Kamu sedang program dengan Bu Zea, bukan?"

"Aku bisa membatalkannya."

"Kamu gila!"

"Aku lebih gila dari yang kamu pikirkan."

"Aku akan pergi."

"Dengan melupakan jasa seorang perempuan yang sudah membantu membesarkan dan membiayai pendidikanmu? Bahkan juga membiayai seluruh keluarga angkatmu?"

Aku menoleh ke arah lain. Dia pintar sekali membangkitkan rasa bersalahku. "Buka pintunya, Vram."

"Tidak akan sebelum kamu menjawab, Ya!"

"Jangan sampai anak-anak kelak menderita karena kesalahan orangtua mereka. Kehidupan kita adalah bukti paling nyata bahwa anak-anak bukan hanya sekadar dilahirkan. Tetapi juga harus dibesarkan, dibahagiakan dan dididik."

"Kamu tidak bersedia mengandung anakku?"

"Aku hanya tidak bersedia menambah satu orang untuk terluka karena keegoisan orangtua mereka."

"Jangan egois kalau begitu."

"Apa yang sebenarnya kamu rencanakan?" tanyaku.

"Punya anak agar kelak ada yang meneruskan bisnis ini. Dan Mami menginginkanmu menjadi ibu mereka. Apa salahnya mengikuti keinginannya?"

Ia sangat santai menjawab pertanyaanku.

"Bagaimana kalau kita tidak ditakdirkan untuk punya anak?"

Avram menatapku lama dalam diam. Aku duduk di sofa sambil menatap seisi ruangan. Ada banyak hal yang tidak kupahami kini.

MASIHKAH KAU PERCAYA CINTA ITU ADA?/Versi Lengkap Tersedia Di PLAY BOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang